wCSUfbj0jCfxbkpQufYnAiiwrifpe8kDKSjPJHFZ

Subscribe:

Ads 468x60px

Minggu, 25 Maret 2012

Sebuah Perspektif Sejarah untuk Pendidikan Klasik


Pendidikan, seperti yang telah kita ketahui bersama, telah menjadi sebuah kenyataan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Manusia adalah species yang mengalami prolonged-childhood, berbeda dengan species lainnya. Prolonged-childhood ini adalah cara yang dipakai manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai species dan sejarah membuktikan (paling tidak sampai saat ini) bahwa manusia adalah species yang paling sukses. Selama masa prolonged-childhood ini, anak-anak dibebaskan dari kewajiban mempertahankan hidupnya, dan menjadi tanggungan manusia dewasa, yaitu orang tuanya. Keuntungan ini, berupa energi dan waktu luang sang anak, didedikasikan untuk belajar, sebagai sebuah proses mempelajari budaya manusia yang nantinya akan dipakai sebagai sebuah alat penjamin kelangsungan hidupnya dan kelompoknya. Budayalah, bukan gen, yang telah membuat manusia begitu adaptif terhadap segala perubahan alam. Untuk itulah pendidikan menjadi sebuah keharusan demi eksistensi manusia di muka bumi ini.
Pendidikan kita saat ini, pendidikan modern, adalah sebuah alat yang dipakai untuk belajar bagaimana mempertahankan hidup di jaman ini. Semua pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan jaman ini. Anak-anak sekarang sejak dini telah diperkenalkan dengan komputer, karena komputer telah menjadi sebuah identitas baru di era ini. Kita juga belajar hukum untuk mematuhinya (dan juga berkelit darinya). Kita belajar ekonomi untuk mengerti bagaimana uang berputar di jaman ini. Kita juga sering mendengar jargon seperti link-and-match yang menginginkan lulusan perguruan tinggi untuk bisa langsung diserap oleh industri. Sungguh, pendidikan sekarang adalah anak emas dari jaman ini. Sebagai anak yang baik pendidikan harus menyiapkan sekrup, mur dan oli supaya mesin dunia ini dapat berjalan dengan lancar. Pendidikan mengajar anak-anak didik how to fit into this world. Anak-anak dibekali dengan segala keahlian yang akan dibutuhkan mereka di dunia kerja: akuntansi, teknik, ilmu medis, hukum, dan lain-lain. Pendidikan untuk menjawab kebutuhan jaman menjadi skill-oriented.
Adakah yang salah dengan ini? Ya! Pendidikan telah mengkhianati tujuan asalnya, yaitu mempersiapkan manusia untuk menghadapi tantangan perubahan di masa depan. Pendidikan bukan lagi menjadi penerang jalan bagi peradaban tetapi telah menjadi hamba untuk mempertahankan suatu jaman, suatu sistem status quo. Apakah yang bisa diharapkan dari pendidikan semacam ini? Kita semua hanya akan masuk ke jurang seperti sebuah juggernaut yang lepas kendali, meminjam istilah Giddens, tanpa ada yang mengingatkan. Pendidikan, sebagai hamba jaman ini, jaman kapitalis, telah diperbudak oleh pemilik jaman ini, yaitu pemilik kekuasaan alias pemilik modal. Pendidikan tidak menyiapkan kita bagaimana menjadi manusia, melainkan menjadi alat, menjadi sekedar sebuah “sumber daya manusia”.
Anda mungkin protes bahwa pendidikan saat ini jauh lebih maju dari pada jaman dulu. Di jaman dulu orang tidak bisa membuat mobil, pesawat dan ‘handphone’. Sekarang kemajuan teknologi telah mempermudah seluruh sendi kehidupan kita, berkat pendidikan. Nanti dulu. Kalau Anda berkata bahwa pendidikan saat ini lebih baik, tentunya manusia di jaman ini lebih mampu berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis tentunya membuat mereka mampu untuk berpikir sendiri bebas dari pengaruh luar. Lalu untuk apa budget iklan yang mungkin trilyunan dollar setiap tahun dihamburkan untuk membujuk orang yang mestinya mampu “berpikir kritis”. Anda mungkin juga berargumentasi bahwa kita sekarang tahu lebih banyak dibandingkan dengan jaman dahulu. Ingat, mengetahui lebih banyak tidak berarti mengetahui dengan lebih baik. Bisa mengoperasikan handphone dengan fitur MMS, voice mail, GPRS atau entah apa lagi namanya tidak membuat Anda seorang manusia yang lebih baik, apalagi lebih bijak.
Selain itu seiring tuntutan jaman, pendidikan saat ini bukan hanya tidak mempersiapkan anak menjadi manusia utuh, melainkan juga telah merenggut anak dari kesukacitaan belajar. Berapa banyak anak yang tidak sabar untuk berangkat ke sekolah karena semata-mata menyenanginya. Tak aneh kalau banyak anak yang bunuh diri seperti halnya di Jepang dan Singapura karena tekanan dari kurikulum dan orang tua yang begitu intens. Tuntutan ini tak lain ialah tuntutan jaman yang makin kompetitif dan ketidakmampuan bertahan berarti tersingkir.
Marilah terlebih dahulu kita melihat bagaimana pendidikan di jaman Yunani kuno. Pendidikan pada jaman itu bukanlah seperti pendidikan saat ini. Anak-anak muda belajar di jalanan. Simonides dalam salah satu syairnya berkata, “Kota mengajar manusia”. Mereka belajar geografi dengan mendengarkan obrolan pedagang yang baru kembali dari tanah seberang. Mereka juga belajar berbagai keahlian, seperti pandai besi dan pertukangan kayu, dengan memperhatikan, karena di jaman itu orang mengerjakan segala sesuatu di depan rumahnya masing-masing. Mereka belajar politik dengan mendengarkan perdebatan orang di agora (pasar), mengenai harga barang, pajak dan lain-lain, dan orang Yunani memang senang berdebat. Nampaknya mereka belajar dengan cara yang lebih menyenangkan dibandingkan kita. Selanjutnya di Yunani muncullah kaum Sofis yang memperkenalkan metode baru dalam pendidikan, yaitu orasi dan retorika. Mereka memanfaatkan kefasihan lidah mereka beragumentasi untuk menjelaskan suatu isu. Sayangnya mereka bukanlah pelayan kebenaran, melainkan pelayan diri sendiri, yang memanfaatkan kelebihan mereka untuk mencari uang dan kedudukan. Hingga suatu saat di antara mereka muncullah Sokrates di Athena, seorang yang pandai berdebat namun juga tertarik pada yang benar. Ia mampu mengalahkan para Sofis dalam perdebatan umum di pasar. Sokrates, yang mendapatkan julukan orang paling bijak di Yunani, mengubah metode pendidikan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas kepada pemuda-pemuda yang mengikutinya, untuk memaksa mereka berpikir. Dan salah satu pengikutnya, Plato, akhirnya mendirikan sebuah sekolah, yang sebenarnya tidak lebih dari tempat kumpul-kumpul di sebuah taman bernama Akademos, sehingga sekolahnya diberi nama Akademia. Di sana mereka berargumen mengenai perihal alam, negara dan apa saja yang terpikirkan oleh mereka, meneruskan tradisi yang telah dibangun oleh Sokrates. Salah satu murid Plato, Aristoteles, juga mendirikan sekolah dengan semangat yang kurang lebih sama meskipun dengan filsafat yang berbeda, bernama Lyceum. Kedua sekolah inilah yang menjadi landasan sebagian besar pemikiran di dunia hingga saat ini.
Jaman Roma, setelah Yunani ditaklukkan, mulai ditandai dengan merosotnya idealisme pendidikan. Pendidikan gaya Graeco-Roman menjadi lebih pragmatis, yang hanya ditujukan untuk melahirkan bukan lagi pemikir-pemikir, melainkan hanya untuk menjadi pelayan penguasa, sesuatu yang sangat dikutuk oleh Plato. Memang patut diakui bahwa ilmu teknik berkembang dengan pesat di masa itu, ditandai dengan pembangunan di mana-mana. Namun di lain pihak jumlah pemikir makin berkurang, hanya tersisa pada individu-individu tercerahkan seperti Marcus Aurelius dan Cicero. Akhirnya Roma pun keropos dengan sendirinya, dan sebuah penaklukan dari bangsa lain hanya tinggal menunggu waktu saja.
Selanjutnya seperti kita ketahui, semenjak Roma jatuh ke bangsa barbar, Eropa mengalami masa suram. Pendidikan menjadi hak elit gereja, yang menjadi penjaga peradaban. Pendidikan pun mengalami masa dorman berabad-abad lamanya. Teks-teks Platonik dan Aristotelean dilarang karena dianggap tulisan kafir. Pendidikan hanya diarahkan pada teologi, dengan inti studi kitab suci. Sementara itu secara diam-diam dan sistematis, kekayaan intelektual Yunani kuno, khususnya sekolah Aristoteles, berpindah ke Arab dan akhirnya berkembang luar biasa di sana. Dunia Arab boleh dikatakan menjadi pionir dalam kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan di masa itu.
Pendidikan akhirnya kembali berkembang di Eropa, khususnya di Italia, setelah gerakan Renaissance. Renaissance sendiri adalah salah satu akibat yang dibawa oleh Perang Salib, yang memungkinkan berpindahnya kembali kekayaan intelektual kuno ke tanah Eropa. Universitas pertama pun berdiri sekitar tahun 1158 di Bologna, yang berpusat pada studi hukum. Setelah itu menyusul di Paris dengan studi seni dan teologi. Eropa pun kembali berkembang. Ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang luar biasa, sementara dunia Arab kembali suram. Kembalinya tongkat estafet ilmu pengetahuan dari Arab, perlahan namun pasti melahirkan sebuah generasi baru. Seorang bernama Copernicus, yang menumbangkan teori geosentris, memulai sebuah revolusi di Eropa. Nama-nama besar berikut yang terinspirasi olehnya membuat gebrakan yang tak pernah dibayangkan oleh masa sebelumnya. Dan Eropa (plus Amerika) sampai saat ini pun menjadi kiblat ilmu pengetahuan.
Sebuah perkembangan lain terjadi di Prusia (cikal bakal Jerman), yang akan kita rasakan sampai saat ini. Dalam kurun 1713-1786 beberapa legislasi dikeluarkan yang mewajibkan anak-anak untuk sekolah, nasionalisasi sekolah, melarang pendidikan privat (di rumah), sertifikasi pengajar, konsep jam pelajaran (±45 menit-1 jam), mata pelajaran, uang sekolah, subsidi pendidikan, dan ujian. Pendidikan kembali lagi, seperti halnya jaman Romawi Kuno, menjadi hamba pemerintah. Pendidikan ditujukan untuk menghasilkan kaum profesional, untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga profesional di semua sektor. Jerman pun berkembang menjadi sebuah bangsa yang terkenal profesionalisme sampai saat ini. Ilmu pengetahuan direduksi menjadi sebuah mata pelajaran, mengesampingkan pendekatan holistik yang menjadi ciri pendidikan klasik. Ciri-ciri sekolah model Prusia inilah yang menjadi ciri pendidikan modern hingga saat ini, yang mengusung profesionalisme, spesialisasi dan pragmatisme. Model pendidikan ini bukannya berjalan tanpa kritik. Ralph Waldo Emerson, seorang pujangga dan penulis esai dari Amerika, mengkritik kebijakan pemerintahnya yang mengirim sekitar 9000 orang untuk belajar di Jerman, yang ditujukan untuk menghasilkan tenaga-tenaga ahli yang akan menjadi penggerak pembangunan di Amerika. Ia berkata bahwa “seorang manusia haruslah menjadi manusia yang baik terlebih dahulu sebelum ia menjadi petani, tukang dan insinyur yang baik.”
Anda boleh mengatakan bahwa saya adalah seorang reaksioner atau laudator temporis acti (pemuja masa lampau). Namun saya mohon renungkanlah lebih jauh kenyataan-kenyataan saat ini dan katakanlah dengan jujur apakah benar peradaban ini menuju ke arah yang lebih baik. Kemajuan di sana sini memang membuat kehidupan kita lebih mudah. Tapi di lain pihak kita juga semakin jauh dari hakikat kita sebagai seorang manusia yang utuh. Kehidupan menjadi semakin artifisial. Dan semuanya ini hanyalah akan membawa kita ke kehancuran. Pemanasan global, polusi alam, kepunahan species-species, dan penjajahan ekonomi hanyalah sedikit contoh dari seluruh masalah di muka bumi ini. Bumi kita ini sedang sekarat. Kiranya bukan mustahil bahwa kiamat nantinya disebabkan sendiri oleh umat manusia.
Cikal bakal pendidikan klasik sebenarnya telah dibangun bahkan sebelum Sokrates berkeliaran di pasar Athena dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas yang memaksa orang untuk berpikir. Zeno dari Elea (abad ke-5 SM) telah mulai mengganggu orang dengan paradoks-paradoksnya, untuk memulai sebuah dialektika. Namun pendidikan klasik dengan trivium dan quadrivium baru dibakukan pada abad pertengahan. Istilah liberal arts sendiri pertama kali dipakai oleh Cassiodorus, seorang pejabat Roma pada abad ke-6. Ia memakai istilah ini untuk menggambarkan ketujuh cabang liberal arts yaitu trivium: gramatika, dialektika dan retorika, dan quadrivium: aritmatika, geometri, musik dan astronomi.
Bagian pertama adalah trivium. Trivium sendiri berasal dari kata tri (Latin: tiga) dan via (Latin: jalan), sehingga dapat diartikan “tiga jalan”. Tiga jalan (ungkapan yang lebih tepat adalah tiga tahap) yang dimaksudkan di sini ialah tiga jalan menuju pengetahuan. Jalan-jalan ini bukanlah pengetahuan, melainkan cara meraih pengetahuan. Tahap-tahap ini menggambarkan tahap-tahap perkembangan manusia, dari bayi sampai dewasa, dalam meraih pengetahuan. Perlu diingat bahwa trivium bukanlah mata pelajaran melainkan metodologi pembelajaran yang menjadi jiwa dari pelajaran yang diberikan. Bisa dilihat di bagian berikutnya bahwa mata pelajaran yang diberikan sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan yang kita kenal. Perbedaannya terletak pada cara pembelajarannya.
Tahap yang pertama adalah gramatika, atau pengetahuan kongkrit. Pada masa ini manusia belajar dengan menghapal. Anak-anak berada pada tahap ini, sehingga kita dapat melihat mereka yang dengan mudah menghapalkan segala macam hal-hal baru yang diberikan pada mereka. Kita dapat melihat bahwa bayi dapat dengan mudah belajar bahasa yang diajarkan pada mereka. Tahap ini adalah tahap yang sangat penting karena di sinilah manusia mengumpulkan segala macam dasar yang akan dipakai pada tahap berikutnya.
Tahap yang kedua adalah dialektika, atau logika. Jika pada tahap gramatika kita mempelajari fakta, pada tahap ini kita mulai membuat hubungan antara satu fakta dengan yang lainnya. Hubungan-hubungan seperti sebab akibat mulai dipelajari dan dipertanyakan. Tahap ini dimulai dengan mengajukan pertanyaan “mengapa”. Kemampuan mengajukan pernyataan dan alasan serta menarik kesimpulan mulai dikembangkan. Di tahap inilah kemampuan abstraksi mulai dikembangkan. Biji yang telah ditanam pada tahap gramatika telah mulai berbunga.
Tahap yang ketiga adalah retorika, atau kemampuan berkomunikasi dan berekspresi. Pada tahap ini kita belajar menyusun fakta-fakta dengan logika yang benar untuk menyusun sebuah pemikiran. Pada tahap ini kemampuan abstraksi mencapai kemampuan tertingginya. Kita bisa mulai merambah area abu-abu maupun daerah yang belum pernah dieksporasi berbekal dengan pengetahuan yang telah diperoleh di tahap sebelumnya. Bunga dari tahap sebelumnya akan berkembang menjadi buah-buah yang bisa dinikmati, sebuah hasil perjuangan yang manis.
Ketiga tahap awal ini dapat digambarkan seperti pada permainan lego. Di tahap gramatika, kita berkenalan dengan bentuk lego yang bermacam-macam. Semakin banyak bentuk yang dikenal semakin kaya pengembangan pada tahap berikutnya. Di tahap dialektika, kita mulai mencoba memasang satu bentuk dengan yang lainnya, pas atau tidak. Eksplorasi adalah kata kunci di tahap ini. Trial-and-error dibantu oleh bimbingan guru akan semakin memantapkan tahap ini. Di tahap retorika, mulailah kita membuat bentuk-bentuk yang kita inginkan. Di sinilah kemampuan berekspresi diuji. Sintesis menjadi kata kunci di tahap ini.
Quadrivium, yang diberikan pada universitas di abad pertengahan dapat dijelaskan secara singkat seperti berikut ini. Quadrivium sendiri adalah ilmu sebagai subjek seperti yang dikenal sekarang. Aritmatika adalah ilmu yang mempelajari tentang angka pada dirinya sendiri. Geometri mempelajari tentang angka di dalam ruang. Musik mempelajari tentang angka di dalam waktu. Dan astronomi, yang sering dianggap sebagai ilmu tertinggi, adalah ilmu yang mempelajari angka di dalam ruang dan waktu. Teologi yang menjadi corak pendidikan gereja juga kerap dimasukkan ke dalam pendidikan sebagai pemberi tujuan.
Sejarah membuktikan bahwa pendidikan klasik telah menyediakan lahan yang subur sehingga setelah saatnya, Renaissance, Eropa menjadi tempat persemaian ilmu pengetahuan yang berkembang pesat sampai saat ini. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah pendidikan klasik ini masih dapat diterapkan pada saat ini, mengingat kegagalan pendidikan modern yang hanya menciptakan manusia-manusia hamba dan robot. Untuk hal ini, dengan sedikit penyesuaian, pendidikan klasik dapat dijadikan alternatif untuk membawa perubahan di tengah jaman yang pragmatis ini. Charlotte Mason, seorang penggagas pendidikan klasik, memberikan banyak hal yang menjadi inspirasi dari tulisan ini.
Gramatika, yang menjadi dasar, dapat diberikan pada usia sekolah dasar, yaitu di usia 7-12 tahun. Yang pertama-tama perlu diperhatikan ialah pengajaran bahasa, karena kemampuan berbahasalah yang akan menyediakan medium untuk perkembangan ilmu yang lain. Bahasa ibu tentunya perlu mendapatkan prioritas. Kemampuan menulis dasar seperti penulisan kalimat yang baik dan membuat karangan sederhana juga perlu ditekankan. Bahasa Inggris juga perlu diberikan sebagai bahasa kedua sejak dini, mengingat peranan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang semakin penting, khususnya setelah era Internet. Di Indonesia, hal ini menjadi semakin relevan mengingat sebagian besar literatur masih berbahasa Inggris. Yang kedua adalah kemampuan matematika, yang akan dijadikan dasar pijakan ilmu-ilmu pasti di kemudian hari. Kemampuan aritmatika tentunya menjadi pilihan utama. Yang ketiga ialah pengembangan kesadaran, melalui pelajaran sejarah dan geografi. Di sini anak diperkenalkan dengan fakta-fakta sejarah dan geografi, melalui cara yang menyenangkan seperti bercerita dan melihat gambar. Pengembangan kesadaran ini akan memberikan rasa identitas kepada anak, yang akan memberikan landasan awal untuk bertolak pada tahap berikutnya. Yang terakhir adalah pengembangan keingintahuan, melalui pelajaran ilmu alam. Anak di sini diajak untuk menjadi seorang pengamat dan pencatat yang baik. Fakta-fakta dasar yang telah teruji kebenarannya, seperti gravitasi dan evolusi juga perlu diberikan kepada anak didik. Musik dan seni lainnya juga dapat diajarkan untuk mengasah nilai rasa dan estetika anak. Kemampuan anak di usia ini yang mampu menyerap segala macam hapalan harus dimanfaatkan sejauh mungkin untuk menyerap dasar-dasar ilmu. Hal ini menjadi kritis karena bahan-bahan yang diberikan akan sangat mempengaruhi perkembangan anak di tahap yang lebih lanjut.
Dialektika adalah tahap di usia sekolah menengah pertama. Di tahap ini, logika sebagai sebuah ilmu tersendiri perlu diperkenalkan. Subjek yang diberikan sebenarnya masih sama dengan tahap gramatika. Yang membedakan adalah cara belajarnya. Pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” harus ditumbuhkembangkan di tahap ini. Matematika, misalnya, sudah bisa mulai memasukan aljabar dan geometri. Studi sejarah dan geografi perlu melibatkan komparasi dan relasi, ketimbang sekedar kronologis maupun spasial. Ilmu-ilmu sosial lain bisa mulai diperkenalkan sebagai kelanjutan logisnya. Ilmu-ilmu alam diajarkan dengan pemahaman hukum-hukum alam dan penjelasan logisnya. Metode ilmiah perlu diperkenalkan secara formal dalam menarik kesimpulan. Anak didik juga perlu mulai diperkenalkan dengan literatur-literatur klasik, baik lokal maupun dunia. Dan bukan hanya sekedar membaca, mereka juga harus menangkap pemikiran-pemikiran yang diusung oleh penulis-penulis literatur tersebut. Bahasa internasional lain seperti Jerman, Prancis, Spanyol, Arab maupun Mandarin bisa diajarkan untuk memperluas literatur yang dapat dibaca. Untuk anak yang sangat berbakat, pengajaran bahasa Latin dan Yunani bisa menjadi bahan pertimbangan. Kemampuan menulis secara utuh juga mulai diajarkan. Kemampuan menulis esai maupun fiksi dapat dijadikan sebagai sebuah tonggak keberhasilan di tahap ini. Diskusi dan debat dapat dipakai selanjutnya untuk mengasah kemampuan logika mereka.
Di tahap retorika, tahap usia sekolah menengah atas, anak didik diharapkan sudah mampu melakukan sistesis dari apa yang telah mereka sebelumnya. Matematika, ilmu alam dan ilmu sosial bukan lagi pelajaran yang terpisah melainkan satu. Sejarah dan geografi juga diintegrasikan untuk memberikan nilai humanisme. Ilmu filsafat sebagai ibu dari semua ilmu sudah bisa diperkenalkan. Literatur-literatur tingkat lanjut diharapkan dapat memperkaya wawasan mereka. Kemampuan memilah informasi, mana yang penting dan tidak penting, mana yang relevan dan tidak relevan, menjadi kegiatan sehari-hari. Kemampuan orasi dan menulis diharapkan telah mencapai tahap tertinggi. Sebagai sebuah tonggak final, anak diharapkan dapat membuat sebuah tulisan komprehensif mengenai sebuah topik, yang kemudian diujikan di depan pengajar. Keberhasilan mempertahankan tulisannya akan menjadi tanda kelulusannya dari trivium.
Liberal arts, yang mengusung kata liberal yang berarti membebaskan, khususnya setelah trivium diharapkan dapat membentuk anak didik yang:
(1)   mampu membaca dan menyimak dengan baik
(2)   mampu berpikir dengan jernih dan mengekspresikan dirinya secara persuasif
(3)   mampu menempatkan dirinya dalam ruang, waktu, dan budaya dalam relasinya dengan dunia luar
(4)   mampu mengapresiasi dan belajar dari perbedaan antara dirinya dan orang di tempat dan masa yang berbeda
(5)   mampu menikmati keindahan yang terpapar di hadapannya
(6)   mampu belajar secara mandiri dan berkelanjutan, dengan menggunakan lima kemampuan di atas
(7)   mengevaluasi dan mengarahkan semua ilmu yang dipelajarinya menuju ke kebenaran sejati (Wes Callihan, dalam Schola Classical Tutorials).
Quadrivium, sebagai dasar pendidikan tinggi memuat modal lanjutan untuk pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi awal (strata satu) perlu dikembalikan sebagai sarana untuk mencetak doktorandus, atau calon doktor. Pendidikan liberal arts justru tidak mengkotak-kotakkan ilmu seperti kecenderungan umum sekarang. Mahasiswa meneruskan trivium dengan menambah amunisi baru untuk pertempuran berikutnya. Amunisi lanjut ini ialah matematika, fisika, kimia, biologi, antropologi, sosiologi, psikologi, sejarah, filsafat, bahasa asing, atau ilmu-ilmu murni lainnya. Dalam empat tahun (mengikuti tradisi quadrivium) mahasiswa menyelesaikan semua ilmu murni ini pada tahap elementer. Studi ini akan ditutup dengan sebuah ujian komprehensif untuk menguji penguasaan mahasiswa atas masing-masing subjek. Kelulusan akan menjadi sebuah tonggak kesiapan mahasiswa untuk menjadi seorang kandidat doktor, meninggalkan masa magang (apprenticeship) untuk memulai petualangannya sendiri di belantara ilmu pengetahuan.
Manusia-manusia yang dilahirkan dari pendidikan klasik ini, setelah melalui jalan yang panjang, diharapkan memiliki kemampuan sebagai penerus peradaban manusia dan membawa umat manusia ke masa depan yang lebih baik.




JIKA SOBAT KESULITAN UNTUK MENDAPATKAN FILENYA, SOBAT BISA MENDAPATKANNYA DI SINI............




0 komentar:

Posting Komentar

MEZA
Bagi sobat yang berkunjung di blogger ini tolong tinggalkan komennya y.......
supaya bisa membagun atau menambah supaya blogger ini lebih baik dari sebelumnya.
MAKASIH

adf.ly

http://adf.ly/?id=1499578