wCSUfbj0jCfxbkpQufYnAiiwrifpe8kDKSjPJHFZ

Subscribe:

Ads 468x60px

Minggu, 25 Maret 2012

Sebuah Perspektif Sejarah untuk Pendidikan Klasik


Pendidikan, seperti yang telah kita ketahui bersama, telah menjadi sebuah kenyataan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Manusia adalah species yang mengalami prolonged-childhood, berbeda dengan species lainnya. Prolonged-childhood ini adalah cara yang dipakai manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai species dan sejarah membuktikan (paling tidak sampai saat ini) bahwa manusia adalah species yang paling sukses. Selama masa prolonged-childhood ini, anak-anak dibebaskan dari kewajiban mempertahankan hidupnya, dan menjadi tanggungan manusia dewasa, yaitu orang tuanya. Keuntungan ini, berupa energi dan waktu luang sang anak, didedikasikan untuk belajar, sebagai sebuah proses mempelajari budaya manusia yang nantinya akan dipakai sebagai sebuah alat penjamin kelangsungan hidupnya dan kelompoknya. Budayalah, bukan gen, yang telah membuat manusia begitu adaptif terhadap segala perubahan alam. Untuk itulah pendidikan menjadi sebuah keharusan demi eksistensi manusia di muka bumi ini.
Pendidikan kita saat ini, pendidikan modern, adalah sebuah alat yang dipakai untuk belajar bagaimana mempertahankan hidup di jaman ini. Semua pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan jaman ini. Anak-anak sekarang sejak dini telah diperkenalkan dengan komputer, karena komputer telah menjadi sebuah identitas baru di era ini. Kita juga belajar hukum untuk mematuhinya (dan juga berkelit darinya). Kita belajar ekonomi untuk mengerti bagaimana uang berputar di jaman ini. Kita juga sering mendengar jargon seperti link-and-match yang menginginkan lulusan perguruan tinggi untuk bisa langsung diserap oleh industri. Sungguh, pendidikan sekarang adalah anak emas dari jaman ini. Sebagai anak yang baik pendidikan harus menyiapkan sekrup, mur dan oli supaya mesin dunia ini dapat berjalan dengan lancar. Pendidikan mengajar anak-anak didik how to fit into this world. Anak-anak dibekali dengan segala keahlian yang akan dibutuhkan mereka di dunia kerja: akuntansi, teknik, ilmu medis, hukum, dan lain-lain. Pendidikan untuk menjawab kebutuhan jaman menjadi skill-oriented.
Adakah yang salah dengan ini? Ya! Pendidikan telah mengkhianati tujuan asalnya, yaitu mempersiapkan manusia untuk menghadapi tantangan perubahan di masa depan. Pendidikan bukan lagi menjadi penerang jalan bagi peradaban tetapi telah menjadi hamba untuk mempertahankan suatu jaman, suatu sistem status quo. Apakah yang bisa diharapkan dari pendidikan semacam ini? Kita semua hanya akan masuk ke jurang seperti sebuah juggernaut yang lepas kendali, meminjam istilah Giddens, tanpa ada yang mengingatkan. Pendidikan, sebagai hamba jaman ini, jaman kapitalis, telah diperbudak oleh pemilik jaman ini, yaitu pemilik kekuasaan alias pemilik modal. Pendidikan tidak menyiapkan kita bagaimana menjadi manusia, melainkan menjadi alat, menjadi sekedar sebuah “sumber daya manusia”.
Anda mungkin protes bahwa pendidikan saat ini jauh lebih maju dari pada jaman dulu. Di jaman dulu orang tidak bisa membuat mobil, pesawat dan ‘handphone’. Sekarang kemajuan teknologi telah mempermudah seluruh sendi kehidupan kita, berkat pendidikan. Nanti dulu. Kalau Anda berkata bahwa pendidikan saat ini lebih baik, tentunya manusia di jaman ini lebih mampu berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis tentunya membuat mereka mampu untuk berpikir sendiri bebas dari pengaruh luar. Lalu untuk apa budget iklan yang mungkin trilyunan dollar setiap tahun dihamburkan untuk membujuk orang yang mestinya mampu “berpikir kritis”. Anda mungkin juga berargumentasi bahwa kita sekarang tahu lebih banyak dibandingkan dengan jaman dahulu. Ingat, mengetahui lebih banyak tidak berarti mengetahui dengan lebih baik. Bisa mengoperasikan handphone dengan fitur MMS, voice mail, GPRS atau entah apa lagi namanya tidak membuat Anda seorang manusia yang lebih baik, apalagi lebih bijak.
Selain itu seiring tuntutan jaman, pendidikan saat ini bukan hanya tidak mempersiapkan anak menjadi manusia utuh, melainkan juga telah merenggut anak dari kesukacitaan belajar. Berapa banyak anak yang tidak sabar untuk berangkat ke sekolah karena semata-mata menyenanginya. Tak aneh kalau banyak anak yang bunuh diri seperti halnya di Jepang dan Singapura karena tekanan dari kurikulum dan orang tua yang begitu intens. Tuntutan ini tak lain ialah tuntutan jaman yang makin kompetitif dan ketidakmampuan bertahan berarti tersingkir.
Marilah terlebih dahulu kita melihat bagaimana pendidikan di jaman Yunani kuno. Pendidikan pada jaman itu bukanlah seperti pendidikan saat ini. Anak-anak muda belajar di jalanan. Simonides dalam salah satu syairnya berkata, “Kota mengajar manusia”. Mereka belajar geografi dengan mendengarkan obrolan pedagang yang baru kembali dari tanah seberang. Mereka juga belajar berbagai keahlian, seperti pandai besi dan pertukangan kayu, dengan memperhatikan, karena di jaman itu orang mengerjakan segala sesuatu di depan rumahnya masing-masing. Mereka belajar politik dengan mendengarkan perdebatan orang di agora (pasar), mengenai harga barang, pajak dan lain-lain, dan orang Yunani memang senang berdebat. Nampaknya mereka belajar dengan cara yang lebih menyenangkan dibandingkan kita. Selanjutnya di Yunani muncullah kaum Sofis yang memperkenalkan metode baru dalam pendidikan, yaitu orasi dan retorika. Mereka memanfaatkan kefasihan lidah mereka beragumentasi untuk menjelaskan suatu isu. Sayangnya mereka bukanlah pelayan kebenaran, melainkan pelayan diri sendiri, yang memanfaatkan kelebihan mereka untuk mencari uang dan kedudukan. Hingga suatu saat di antara mereka muncullah Sokrates di Athena, seorang yang pandai berdebat namun juga tertarik pada yang benar. Ia mampu mengalahkan para Sofis dalam perdebatan umum di pasar. Sokrates, yang mendapatkan julukan orang paling bijak di Yunani, mengubah metode pendidikan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas kepada pemuda-pemuda yang mengikutinya, untuk memaksa mereka berpikir. Dan salah satu pengikutnya, Plato, akhirnya mendirikan sebuah sekolah, yang sebenarnya tidak lebih dari tempat kumpul-kumpul di sebuah taman bernama Akademos, sehingga sekolahnya diberi nama Akademia. Di sana mereka berargumen mengenai perihal alam, negara dan apa saja yang terpikirkan oleh mereka, meneruskan tradisi yang telah dibangun oleh Sokrates. Salah satu murid Plato, Aristoteles, juga mendirikan sekolah dengan semangat yang kurang lebih sama meskipun dengan filsafat yang berbeda, bernama Lyceum. Kedua sekolah inilah yang menjadi landasan sebagian besar pemikiran di dunia hingga saat ini.
Jaman Roma, setelah Yunani ditaklukkan, mulai ditandai dengan merosotnya idealisme pendidikan. Pendidikan gaya Graeco-Roman menjadi lebih pragmatis, yang hanya ditujukan untuk melahirkan bukan lagi pemikir-pemikir, melainkan hanya untuk menjadi pelayan penguasa, sesuatu yang sangat dikutuk oleh Plato. Memang patut diakui bahwa ilmu teknik berkembang dengan pesat di masa itu, ditandai dengan pembangunan di mana-mana. Namun di lain pihak jumlah pemikir makin berkurang, hanya tersisa pada individu-individu tercerahkan seperti Marcus Aurelius dan Cicero. Akhirnya Roma pun keropos dengan sendirinya, dan sebuah penaklukan dari bangsa lain hanya tinggal menunggu waktu saja.
Selanjutnya seperti kita ketahui, semenjak Roma jatuh ke bangsa barbar, Eropa mengalami masa suram. Pendidikan menjadi hak elit gereja, yang menjadi penjaga peradaban. Pendidikan pun mengalami masa dorman berabad-abad lamanya. Teks-teks Platonik dan Aristotelean dilarang karena dianggap tulisan kafir. Pendidikan hanya diarahkan pada teologi, dengan inti studi kitab suci. Sementara itu secara diam-diam dan sistematis, kekayaan intelektual Yunani kuno, khususnya sekolah Aristoteles, berpindah ke Arab dan akhirnya berkembang luar biasa di sana. Dunia Arab boleh dikatakan menjadi pionir dalam kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan di masa itu.
Pendidikan akhirnya kembali berkembang di Eropa, khususnya di Italia, setelah gerakan Renaissance. Renaissance sendiri adalah salah satu akibat yang dibawa oleh Perang Salib, yang memungkinkan berpindahnya kembali kekayaan intelektual kuno ke tanah Eropa. Universitas pertama pun berdiri sekitar tahun 1158 di Bologna, yang berpusat pada studi hukum. Setelah itu menyusul di Paris dengan studi seni dan teologi. Eropa pun kembali berkembang. Ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang luar biasa, sementara dunia Arab kembali suram. Kembalinya tongkat estafet ilmu pengetahuan dari Arab, perlahan namun pasti melahirkan sebuah generasi baru. Seorang bernama Copernicus, yang menumbangkan teori geosentris, memulai sebuah revolusi di Eropa. Nama-nama besar berikut yang terinspirasi olehnya membuat gebrakan yang tak pernah dibayangkan oleh masa sebelumnya. Dan Eropa (plus Amerika) sampai saat ini pun menjadi kiblat ilmu pengetahuan.
Sebuah perkembangan lain terjadi di Prusia (cikal bakal Jerman), yang akan kita rasakan sampai saat ini. Dalam kurun 1713-1786 beberapa legislasi dikeluarkan yang mewajibkan anak-anak untuk sekolah, nasionalisasi sekolah, melarang pendidikan privat (di rumah), sertifikasi pengajar, konsep jam pelajaran (±45 menit-1 jam), mata pelajaran, uang sekolah, subsidi pendidikan, dan ujian. Pendidikan kembali lagi, seperti halnya jaman Romawi Kuno, menjadi hamba pemerintah. Pendidikan ditujukan untuk menghasilkan kaum profesional, untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga profesional di semua sektor. Jerman pun berkembang menjadi sebuah bangsa yang terkenal profesionalisme sampai saat ini. Ilmu pengetahuan direduksi menjadi sebuah mata pelajaran, mengesampingkan pendekatan holistik yang menjadi ciri pendidikan klasik. Ciri-ciri sekolah model Prusia inilah yang menjadi ciri pendidikan modern hingga saat ini, yang mengusung profesionalisme, spesialisasi dan pragmatisme. Model pendidikan ini bukannya berjalan tanpa kritik. Ralph Waldo Emerson, seorang pujangga dan penulis esai dari Amerika, mengkritik kebijakan pemerintahnya yang mengirim sekitar 9000 orang untuk belajar di Jerman, yang ditujukan untuk menghasilkan tenaga-tenaga ahli yang akan menjadi penggerak pembangunan di Amerika. Ia berkata bahwa “seorang manusia haruslah menjadi manusia yang baik terlebih dahulu sebelum ia menjadi petani, tukang dan insinyur yang baik.”
Anda boleh mengatakan bahwa saya adalah seorang reaksioner atau laudator temporis acti (pemuja masa lampau). Namun saya mohon renungkanlah lebih jauh kenyataan-kenyataan saat ini dan katakanlah dengan jujur apakah benar peradaban ini menuju ke arah yang lebih baik. Kemajuan di sana sini memang membuat kehidupan kita lebih mudah. Tapi di lain pihak kita juga semakin jauh dari hakikat kita sebagai seorang manusia yang utuh. Kehidupan menjadi semakin artifisial. Dan semuanya ini hanyalah akan membawa kita ke kehancuran. Pemanasan global, polusi alam, kepunahan species-species, dan penjajahan ekonomi hanyalah sedikit contoh dari seluruh masalah di muka bumi ini. Bumi kita ini sedang sekarat. Kiranya bukan mustahil bahwa kiamat nantinya disebabkan sendiri oleh umat manusia.
Cikal bakal pendidikan klasik sebenarnya telah dibangun bahkan sebelum Sokrates berkeliaran di pasar Athena dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas yang memaksa orang untuk berpikir. Zeno dari Elea (abad ke-5 SM) telah mulai mengganggu orang dengan paradoks-paradoksnya, untuk memulai sebuah dialektika. Namun pendidikan klasik dengan trivium dan quadrivium baru dibakukan pada abad pertengahan. Istilah liberal arts sendiri pertama kali dipakai oleh Cassiodorus, seorang pejabat Roma pada abad ke-6. Ia memakai istilah ini untuk menggambarkan ketujuh cabang liberal arts yaitu trivium: gramatika, dialektika dan retorika, dan quadrivium: aritmatika, geometri, musik dan astronomi.
Bagian pertama adalah trivium. Trivium sendiri berasal dari kata tri (Latin: tiga) dan via (Latin: jalan), sehingga dapat diartikan “tiga jalan”. Tiga jalan (ungkapan yang lebih tepat adalah tiga tahap) yang dimaksudkan di sini ialah tiga jalan menuju pengetahuan. Jalan-jalan ini bukanlah pengetahuan, melainkan cara meraih pengetahuan. Tahap-tahap ini menggambarkan tahap-tahap perkembangan manusia, dari bayi sampai dewasa, dalam meraih pengetahuan. Perlu diingat bahwa trivium bukanlah mata pelajaran melainkan metodologi pembelajaran yang menjadi jiwa dari pelajaran yang diberikan. Bisa dilihat di bagian berikutnya bahwa mata pelajaran yang diberikan sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan yang kita kenal. Perbedaannya terletak pada cara pembelajarannya.
Tahap yang pertama adalah gramatika, atau pengetahuan kongkrit. Pada masa ini manusia belajar dengan menghapal. Anak-anak berada pada tahap ini, sehingga kita dapat melihat mereka yang dengan mudah menghapalkan segala macam hal-hal baru yang diberikan pada mereka. Kita dapat melihat bahwa bayi dapat dengan mudah belajar bahasa yang diajarkan pada mereka. Tahap ini adalah tahap yang sangat penting karena di sinilah manusia mengumpulkan segala macam dasar yang akan dipakai pada tahap berikutnya.
Tahap yang kedua adalah dialektika, atau logika. Jika pada tahap gramatika kita mempelajari fakta, pada tahap ini kita mulai membuat hubungan antara satu fakta dengan yang lainnya. Hubungan-hubungan seperti sebab akibat mulai dipelajari dan dipertanyakan. Tahap ini dimulai dengan mengajukan pertanyaan “mengapa”. Kemampuan mengajukan pernyataan dan alasan serta menarik kesimpulan mulai dikembangkan. Di tahap inilah kemampuan abstraksi mulai dikembangkan. Biji yang telah ditanam pada tahap gramatika telah mulai berbunga.
Tahap yang ketiga adalah retorika, atau kemampuan berkomunikasi dan berekspresi. Pada tahap ini kita belajar menyusun fakta-fakta dengan logika yang benar untuk menyusun sebuah pemikiran. Pada tahap ini kemampuan abstraksi mencapai kemampuan tertingginya. Kita bisa mulai merambah area abu-abu maupun daerah yang belum pernah dieksporasi berbekal dengan pengetahuan yang telah diperoleh di tahap sebelumnya. Bunga dari tahap sebelumnya akan berkembang menjadi buah-buah yang bisa dinikmati, sebuah hasil perjuangan yang manis.
Ketiga tahap awal ini dapat digambarkan seperti pada permainan lego. Di tahap gramatika, kita berkenalan dengan bentuk lego yang bermacam-macam. Semakin banyak bentuk yang dikenal semakin kaya pengembangan pada tahap berikutnya. Di tahap dialektika, kita mulai mencoba memasang satu bentuk dengan yang lainnya, pas atau tidak. Eksplorasi adalah kata kunci di tahap ini. Trial-and-error dibantu oleh bimbingan guru akan semakin memantapkan tahap ini. Di tahap retorika, mulailah kita membuat bentuk-bentuk yang kita inginkan. Di sinilah kemampuan berekspresi diuji. Sintesis menjadi kata kunci di tahap ini.
Quadrivium, yang diberikan pada universitas di abad pertengahan dapat dijelaskan secara singkat seperti berikut ini. Quadrivium sendiri adalah ilmu sebagai subjek seperti yang dikenal sekarang. Aritmatika adalah ilmu yang mempelajari tentang angka pada dirinya sendiri. Geometri mempelajari tentang angka di dalam ruang. Musik mempelajari tentang angka di dalam waktu. Dan astronomi, yang sering dianggap sebagai ilmu tertinggi, adalah ilmu yang mempelajari angka di dalam ruang dan waktu. Teologi yang menjadi corak pendidikan gereja juga kerap dimasukkan ke dalam pendidikan sebagai pemberi tujuan.
Sejarah membuktikan bahwa pendidikan klasik telah menyediakan lahan yang subur sehingga setelah saatnya, Renaissance, Eropa menjadi tempat persemaian ilmu pengetahuan yang berkembang pesat sampai saat ini. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah pendidikan klasik ini masih dapat diterapkan pada saat ini, mengingat kegagalan pendidikan modern yang hanya menciptakan manusia-manusia hamba dan robot. Untuk hal ini, dengan sedikit penyesuaian, pendidikan klasik dapat dijadikan alternatif untuk membawa perubahan di tengah jaman yang pragmatis ini. Charlotte Mason, seorang penggagas pendidikan klasik, memberikan banyak hal yang menjadi inspirasi dari tulisan ini.
Gramatika, yang menjadi dasar, dapat diberikan pada usia sekolah dasar, yaitu di usia 7-12 tahun. Yang pertama-tama perlu diperhatikan ialah pengajaran bahasa, karena kemampuan berbahasalah yang akan menyediakan medium untuk perkembangan ilmu yang lain. Bahasa ibu tentunya perlu mendapatkan prioritas. Kemampuan menulis dasar seperti penulisan kalimat yang baik dan membuat karangan sederhana juga perlu ditekankan. Bahasa Inggris juga perlu diberikan sebagai bahasa kedua sejak dini, mengingat peranan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang semakin penting, khususnya setelah era Internet. Di Indonesia, hal ini menjadi semakin relevan mengingat sebagian besar literatur masih berbahasa Inggris. Yang kedua adalah kemampuan matematika, yang akan dijadikan dasar pijakan ilmu-ilmu pasti di kemudian hari. Kemampuan aritmatika tentunya menjadi pilihan utama. Yang ketiga ialah pengembangan kesadaran, melalui pelajaran sejarah dan geografi. Di sini anak diperkenalkan dengan fakta-fakta sejarah dan geografi, melalui cara yang menyenangkan seperti bercerita dan melihat gambar. Pengembangan kesadaran ini akan memberikan rasa identitas kepada anak, yang akan memberikan landasan awal untuk bertolak pada tahap berikutnya. Yang terakhir adalah pengembangan keingintahuan, melalui pelajaran ilmu alam. Anak di sini diajak untuk menjadi seorang pengamat dan pencatat yang baik. Fakta-fakta dasar yang telah teruji kebenarannya, seperti gravitasi dan evolusi juga perlu diberikan kepada anak didik. Musik dan seni lainnya juga dapat diajarkan untuk mengasah nilai rasa dan estetika anak. Kemampuan anak di usia ini yang mampu menyerap segala macam hapalan harus dimanfaatkan sejauh mungkin untuk menyerap dasar-dasar ilmu. Hal ini menjadi kritis karena bahan-bahan yang diberikan akan sangat mempengaruhi perkembangan anak di tahap yang lebih lanjut.
Dialektika adalah tahap di usia sekolah menengah pertama. Di tahap ini, logika sebagai sebuah ilmu tersendiri perlu diperkenalkan. Subjek yang diberikan sebenarnya masih sama dengan tahap gramatika. Yang membedakan adalah cara belajarnya. Pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” harus ditumbuhkembangkan di tahap ini. Matematika, misalnya, sudah bisa mulai memasukan aljabar dan geometri. Studi sejarah dan geografi perlu melibatkan komparasi dan relasi, ketimbang sekedar kronologis maupun spasial. Ilmu-ilmu sosial lain bisa mulai diperkenalkan sebagai kelanjutan logisnya. Ilmu-ilmu alam diajarkan dengan pemahaman hukum-hukum alam dan penjelasan logisnya. Metode ilmiah perlu diperkenalkan secara formal dalam menarik kesimpulan. Anak didik juga perlu mulai diperkenalkan dengan literatur-literatur klasik, baik lokal maupun dunia. Dan bukan hanya sekedar membaca, mereka juga harus menangkap pemikiran-pemikiran yang diusung oleh penulis-penulis literatur tersebut. Bahasa internasional lain seperti Jerman, Prancis, Spanyol, Arab maupun Mandarin bisa diajarkan untuk memperluas literatur yang dapat dibaca. Untuk anak yang sangat berbakat, pengajaran bahasa Latin dan Yunani bisa menjadi bahan pertimbangan. Kemampuan menulis secara utuh juga mulai diajarkan. Kemampuan menulis esai maupun fiksi dapat dijadikan sebagai sebuah tonggak keberhasilan di tahap ini. Diskusi dan debat dapat dipakai selanjutnya untuk mengasah kemampuan logika mereka.
Di tahap retorika, tahap usia sekolah menengah atas, anak didik diharapkan sudah mampu melakukan sistesis dari apa yang telah mereka sebelumnya. Matematika, ilmu alam dan ilmu sosial bukan lagi pelajaran yang terpisah melainkan satu. Sejarah dan geografi juga diintegrasikan untuk memberikan nilai humanisme. Ilmu filsafat sebagai ibu dari semua ilmu sudah bisa diperkenalkan. Literatur-literatur tingkat lanjut diharapkan dapat memperkaya wawasan mereka. Kemampuan memilah informasi, mana yang penting dan tidak penting, mana yang relevan dan tidak relevan, menjadi kegiatan sehari-hari. Kemampuan orasi dan menulis diharapkan telah mencapai tahap tertinggi. Sebagai sebuah tonggak final, anak diharapkan dapat membuat sebuah tulisan komprehensif mengenai sebuah topik, yang kemudian diujikan di depan pengajar. Keberhasilan mempertahankan tulisannya akan menjadi tanda kelulusannya dari trivium.
Liberal arts, yang mengusung kata liberal yang berarti membebaskan, khususnya setelah trivium diharapkan dapat membentuk anak didik yang:
(1)   mampu membaca dan menyimak dengan baik
(2)   mampu berpikir dengan jernih dan mengekspresikan dirinya secara persuasif
(3)   mampu menempatkan dirinya dalam ruang, waktu, dan budaya dalam relasinya dengan dunia luar
(4)   mampu mengapresiasi dan belajar dari perbedaan antara dirinya dan orang di tempat dan masa yang berbeda
(5)   mampu menikmati keindahan yang terpapar di hadapannya
(6)   mampu belajar secara mandiri dan berkelanjutan, dengan menggunakan lima kemampuan di atas
(7)   mengevaluasi dan mengarahkan semua ilmu yang dipelajarinya menuju ke kebenaran sejati (Wes Callihan, dalam Schola Classical Tutorials).
Quadrivium, sebagai dasar pendidikan tinggi memuat modal lanjutan untuk pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi awal (strata satu) perlu dikembalikan sebagai sarana untuk mencetak doktorandus, atau calon doktor. Pendidikan liberal arts justru tidak mengkotak-kotakkan ilmu seperti kecenderungan umum sekarang. Mahasiswa meneruskan trivium dengan menambah amunisi baru untuk pertempuran berikutnya. Amunisi lanjut ini ialah matematika, fisika, kimia, biologi, antropologi, sosiologi, psikologi, sejarah, filsafat, bahasa asing, atau ilmu-ilmu murni lainnya. Dalam empat tahun (mengikuti tradisi quadrivium) mahasiswa menyelesaikan semua ilmu murni ini pada tahap elementer. Studi ini akan ditutup dengan sebuah ujian komprehensif untuk menguji penguasaan mahasiswa atas masing-masing subjek. Kelulusan akan menjadi sebuah tonggak kesiapan mahasiswa untuk menjadi seorang kandidat doktor, meninggalkan masa magang (apprenticeship) untuk memulai petualangannya sendiri di belantara ilmu pengetahuan.
Manusia-manusia yang dilahirkan dari pendidikan klasik ini, setelah melalui jalan yang panjang, diharapkan memiliki kemampuan sebagai penerus peradaban manusia dan membawa umat manusia ke masa depan yang lebih baik.




JIKA SOBAT KESULITAN UNTUK MENDAPATKAN FILENYA, SOBAT BISA MENDAPATKANNYA DI SINI............




Sejarah Berdirinya Madrasah


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran[1]. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran[2]. Karenanya, istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah pemula[3]. sementara Karel A. steenbrik justru membedakan antara madrasah dan sekolah-sekolah, dia beralasan bahwa antara madrasah dan sekolah mempunyai ciri yang berbeda[4]. Meskipun demikian, dalam konteks ini penulis cenderung untuk menyamakan arti madrah dan sekolah.
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
B. Latar Belakang Berdirinya Madrasah
Madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M. pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam mazhab atau pemikirannya. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan hadis, seperti ilmu-ilmu al-Qur’an, hadits, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawwuf tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan[5].
Aliran-aliran yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan mazhabnya masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab atau aliran. Itulah sebabnya sebagian besar madrasah didirikan pada masa itu dihubungkan dengan nama-nama mazhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah.
Berdasarkan dengan keterangan di atas, jelaslah bahwa penggunaan istilah madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam maupun sebagai aliran atau mazhab bukanlah sejak awal perkembangan Islam, tetapi muncul setelah Islam berkembang luas dan telah menerima pengaruh dari luar sehingga terjadilah perkembangan berbagai macam bidang ilmu pengetahuan dengan berbagai macam aliran dan mazhabnya.
Pada awal perkembangan Islam, terdapat dua jenis lembaga pendidikan dan pengajaran, yaitu kuttab yang mengajarkan cara menulis dan membaca al-Qur’an, serta dasar-dasar pokok ajaran Islam kepada anak-anak yang merupakan pendidikan tingkat dasar. Sedangkan masjid dijadikan sebagai tingkat pendidikan lanjutan pada masa itu yang hanya diikuti oleh orang-orang dewasa. Dari masjid-masjid ini, lahirlah ulama-ulama besar yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan Islam, dan dari sini pulalah timbulnya aliran-aliran atau mazhab-mazhab dalam berbagai ilmu pengetahuan, yang waktu itu dikenal dengan istilah madrasah[6]. Kegiatan para ulama dalam mengembangkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat Islam maju dengan pesatnya, bahkan dari satu periode ke periode berikutnya semakin meningkat.
Untuk menampung kegiatan khalaqah yang semakin banyak, sejalan dengan meningkatnya jumlah pelajaran dan bidang ilmu pengetahuan yang diajarkan, maka dibangunlah ruangan-ruangan khusus untuk kegiatan khalaqah atau pengajian tersebut di sekitar masjid. Di samping dibangun pula asrama khusus untuk guru dan pelajar, sebagai tempat tinggal dan tempat kegiatan belajar mengajar setiap hari secara teratur, yang disebut dengan zawiyah atau madrasah yang pada mulanya hanya dibangun di sekitar masjid, tetapi pada perkembangan selanjutnya banyak dibangun secara sendiri[7].
Pada hakikatnya timbulnya madrasah-madrasah di dunia Islam merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan kegiatan proses belajar mengajar dalam upaya untuk menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar yang semakin meningkat dan bertambah setiap tahun ajaran.
C. Kontribusi Madrasah terhadap Indonesia; kajian historis dan visioner
Sementara itu, madrasah boleh dikatakan sebagai fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, yang kehadirannya sekitar permulaan abad ke-20[8]. Namun dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajarannya masih belum punya keseragaman antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, terutama sekali menyangkut kurikulum dan rencana pelajaran. Usaha ke arah penyatuan dan penyeragaman sistem tersebut, baru dirintis sekitar tahun 1950 setelah Indonesia merdeka. Dan pada perkembangannya madrasah terbagi dalam jenjang-jenjang pendidikan; Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
Salah satu pilar pendidikan nasional adalah perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Upaya perluasan dan pemerataan akses pendidikan yang ditujukan dalam upaya perluasan daya tampung satuan pendidikan dengan mengacu pada skala prioritas nasional yang memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang beraneka ragam baik secara sosial, ekonomi, gender, geografis, maupun tingkat kemampuan intelektual dan kondisi fisik. Perluasan dan pemerataan akses memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era globalisasi.
Pendirian madrasah oleh para pemuka muslim di berbagai pelosok negeri memainkan peranan yang sangat penting dalam membuka akses bagi masyarakat miskin dan terpencil untuk memperoleh layanan pendidikan. Komitmen moral ini dalam kenyataan tidak pernah surut, sehingga secara kelembagaan madrasah terus mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga sekarang. Berdasarkan statisik pendidikan Islam tahun 2007, laju pertumbuhan madrasah dalam lima tahun terakhir mencapai rata-rata kisaran 3% per tahun dan lebih dari 50% madrasah berada di luar Jawa yang terdistribusi di daerah pedesaan.Sumbangan madrasah dalam konteks perluasan akses dan pemerataan pendidikan tergambar secara jelas dalam jumlah penduduk usia sekolah yang menjadi peserta didik madrasah. Pada tahun 2007, jumlah seluruh peserta madrasah pada semua jenjang pendidikan sebesar 6.075.210 peserta didik. Adapun Angka Partisipasi Kasar (APK) madrasah terhadap jumlah penduduk usia sekolah pada masing-masing tingkatan adalah 10,8% MI, 16,4% MTs, dan 6,0% MA. Kontribusi APK tersebut tersebar berasal dari madrasah swasta pada masing-masing tingkatan.[9]
Sumbangan lain dari madrasah dalam pembangunan pendidikan nasional adalah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun pada pendidikan madrasah dikembangkan melalui Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jumlah MI sebanyak 22.610 buah dengan 3.050.555 peserta didik. Jumlah MTs sebanyak 12.498 buah dengan 2.531.656 peserta didik. Jumlah peserta didik dalam program wajib belajar pendidikan sembilan tahun terdiri dari 47,2% peserta didik MI dan 31,8 peserta didik MTs. Sisanya 21,0% peserta didik/santri pondok pesantren salafiah. Kontribusi madrasah terhadap penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun cukup lumayan besar mencapai 17%. Meskipun belum tercapai, namun diharapkan sampai tahun 2009 dapat dituntaskan. Kriteria tuntas adalah angka partisipasi kasar (APK) mengikuti pendidikan SMP atau Madrasah Tsanawiyah mencapai 95%. Sampai tahun 2008 baru mencapai sekitar 92,3%. Angka sisanya yaitu sekitar 2,7 % diharapkan pada tahun 2009 dapat dicapai angka partisipasi kasar pendidikan dasar sembilan tahun hingga 95%. Artinya wajib belajar pendidikan dasar pendidikan dasar sembilan tahun itu dianggap tuntas, meskipun 95% masih ada sisanya 5%. Angka 5% dari 50 juta anak usia sekolah bisa dikatakan lumayan banyak yang tercecer, tetapi bisa dianggap selesai.
Sedangkan jika dilihat secara keseluruhan termasuk Madrasah Aliyah, kontribusi madrasah dari mulai MI sampai MA terhadap angka partisipasi mengikuti pendidikan di berbagai jenjang pendidikan secara agregat atau secara keseluruhan itu bisa mencapai 21%. Bukan angka sedikit 21% dari sekitar 60 juta penduduk. Artinya masyarakat terutama madrasah telah memberikan andil pada upaya-upaya pemerintah menyediakan lembaga-lembaga pendidikan yang cukup besar. Di samping kenaikan APK, indikator lain dari percepatan penuntasan program wajib belajar sembilan tahun adalah semakin menurunnya angka drop out pada tahun 2006 sebesar 0,6 % menjadi 0,4 % pada tahun 2007 untuk MI dan untuk MTs sebesar 1,06 % pada tahun 2006 menjadi 1,02 % pada tahun 2007. Pada tahun 2008 angka drop out pada MI dan MTs diperkirakan turun 1,04 % sedangkan APK pada MI dan MTs masing-masing mencapai 14,75 % dan 20,70 %.[10]
Peran penting dalam rangka perluasan akses masyarakat dari kelompok marginal tampak secara jelas dari latar belakang keluarga peserta didiknya. Berdasarkan Statistik Pendidikan Islam Tahun 2007, lebih dari 92,7% orang tua peserta didik madrasah berpendidikan sederajat atau kurang dari SLTA dengan pekerjaan utama sebagai petani, nelayan, dan buruh (58,0%). Sejalan dengan kondisi ini, 85% berpenghasilan kurang dari Rp. 1 juta per bulan.Gambaran kondisi orang tua peserta didik tersebut menunjukkan bahwa madrasah memiliki aksessibilitas yang tinggi terhadap peserta didik dengan latar belakang keluarga masyarakat yang miskin secara ekonomi.
Aksessibilitas madrasah bagi kelompok marginal juga tercermin pada aspek kultural, yaitu perannya yang penting dalam gender mainstreaming bidang pendidikan berkenaan dengan komposisi peserta didiknya yang sebagian besar kaum perempuan. Realitas ini adalah prakondisi yang baik bagi pengembangan pendidikan Islam berwawasan gender dan juga sekaligus menepis tudingan berbagai kalangan bahwa sikap dan pandangan keagamaan umat Islam cenderung diskriminatif terhadap perempuan.
D. Isu- isu eksistensi dan implikasinya
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan Islam madrasah sudah tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan Islam pesantren. Karena di lembaga pendidikan madrasah ini sudah mulai dimasukkan pelajaran-pelajaran umum seperti sejarah ilmu bumi, dan pelajaran umum lainnya. Sedangkan metode pengajarannya pun sudah tidak lagi menggunakan sistem halaqah, melainkan sudah mengikuti metode pendidikan moderen barat, yaitu dengan menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan tulis untuk proses belajar mengajar[11].
Melihat kenyataan sejarah, kita tentunya bangga dengan sistem dan lembaga pendidikan Islam madrasah yang ada di Indonesia. Apalagi dengan metode dan kurikulum pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem pendidikan serta kurikulum pelajaran umum. Peran dan kontribusi madrasah yang begitu besar itu pada gilirannya—sejak awal kemerdekaan—sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia.
Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu sendiri. Perkembangan serta kemajuan pendidikan Islam terus meningkat secara signifikan. Hal itu dapat dilihat misalnya pada pertengahan dekade 60-an, madrasah sudah tersebar di berbagai daerah di hampir seluruh propinsi Indonesia. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah tingkat rendah pada masa itu sudah mencapai 13.057. dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777 telah terserap untuk mengenyam pendidikan agama. Laporan yang sama juga menyebutkan jumlah madrasah tingkat pertama (tsanawiyah) yang mencapai 776 buah dengan jumlah murid 87.932. Adapun jumlah madrasah tingkat Aliyah diperkirakan mencapai 16 madrasah dengan jumlah murid 1.881. Dengan demikian, berdasarkan laporan ini, jumlah madrasah secara keseluruhan sudah mencapai 13.849 dengan jumlah murid sebanyak 2.017.590. Perkembangan ini menunjukkan bahwa sudah sejak awal, pendidikan madrasah memberikan sumbangan yang signifikan bagi proses pencerdasan dan pembinaan akhlak bangsa[12].
Dalam pada itu, meskipun pemerintah melalui departemen agama sudah banyak melakukan perubahan dan perumusan kebijakan di sana-sini untuk memajukan madrasah, namun itu belum terlalu berhasil jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang dalam hal ini dikelola oleh departemen pendidikan. Karena realitasnya, masyarakat hingga periode 90-an masih mempunyai sense of interest yang tinggi untuk masuk ke sekolah-sekolah umum yang dinilainya mempunyai prestige yang lebih baik daripada madrasah / sekolah Islam (Islamic School). Lebih dari itu, dengan masuk ke sekolah-sekolah umum, masa depan siswa akan lebih terjamin ketimbang masuk ke madrasah atau sekolah Islam.
Hal itu bisa jadi disebabkan oleh image yang menggambarkan lulusan-lulusan madrasah tidak mampu bersaing dengan lulusan-lulusan dari sekolah-sekolah umum. Lulusan madrasah hanya mampu menjadi seorang guru agama atau ustdaz. Sedangkan lulusan dari sekolah umum mampu masuk ke sekolah-sekolah umum yang lebih bonafide dan mempunyai jaminan lapangan pekerjaan yang pasti.
Dalam konteks kekinian, image madrasah atau sekolah Islam telah berubah. Madrasah sekarang tidak lagi menjadi sekolah Islam yang hanya diminati oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan sudah diminati oleh siswa-siswa yang berasal dari masyarakat golongan kelas menengah ke atas. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah Islam atau madrasah elit yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum sudah banyak bermunculan. Diantara madrasah atau sekolah Islam itu adalah; Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam al-Azhar, Sekolah Islam al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, Madania School, dan lain sebagainya.
Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap mempertahankan yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung iklim pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan dengan apa yang disebut sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar harus berbicara dalam bahasa Inggris. Seperti Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh diantaranya.
Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan sekolah Islam itu kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut diajarkan oleh madrasah seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang,  Mandarin dan lainnya pada tingkat Madrasah Aliyah. Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya dengan memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para siswanya dan desain kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh madrasah.[13]
Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari, menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya.
Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti universitas misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang sudah pernah didapatnya ketika di madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam upaya mencari pekerjaan. Jadi, kiranya penting bagi madrasah untuk mengembangkan pendidikan keterampilan tersebut. Sebab, dengan begitu siswa akan langsung dapat mengamalkan ilmunya setelah lulus dari madrasah atau sekolah Islam. Namun semua itu tentunya harus dilakukan secara profesional. Dengan adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia global yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan terjaga. Karena ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak kalah kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.
BAB III
PENUTUP
Solusi yang ditawarkan
Almuhafadhoh ala qodimis sholeh, wal akhdu bijadidil ashlah, ini adalah sebuah solusi yang mungkin bisa memecahkan permasalahan yang mengakar ditubuh madrasah sekarang ini, seperti yang telah di paparkan diatas bahwa softskil atau keterampilan siswa itu sangatlah urgen dalam perkembangan pendidikan siswa.
Kita tahu bahwa image yang ada tentang madrasah cenderung mengarah ke sesuatu yang bersifat agamis saja, berbeda dengan Sekolah Umum yang masyhur dengan sainsnya. Semua itu bisa kita rubah dengan tetep mempertahankan dasar madrasah sebagai wadah pendidikan yang bersifat agamis, tanpa mengenyampingkan ilmu pengetahuan umum atau dalam hal ini adalah sains dan keterampilan.
Solusi yang kedua adalah dengan mempertimbagkan kembali ide yang sebenarnya sudah lama disuarakan oleh beberapa kalangan, yaitu adanya pendapat yang menginginkan “pendidikan satu atap” di negeri ini. Seperti yang diungkapkan bahwa fenomena penganaktirian madrasah sesungguhnya adalah konsekwensi dari pemberlakuan dualisme manajemen pendidikan di negeri ini yang berlangsung sudah sejak lama. Maka terkait dengan masalah dualisme pendidikan ini, ide tentang pendidikan satu atap ini juga layak kembali dipertimbangkan.
Menurut saya ketika semangat otonomi pendidikan menjadi isu sentral dalam reformasi pendidikan nasional, maka madrasah seharusnya include dalam semangat otonomi itu. Ada banyak alasan ilmiah yang menguatkan bahwa otonomi pendidikan diyakini akan mendatangkan kemaslahatan terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional di masa datang. Masalahnya adalah sekalipun madrasah sesungguhnya bergerak di bidang pendidikan yang sudah diotnomikan, selama ini madrasah berada dalam jalur birokrasi Departemen Agama yang tidak diberikan wewenang otonomi, maka akibatnya jadilah madrasah sebagai anak tiri oleh pemerintahan daerah.
Saya beranggapan bahwa pendidikan satu atap, dimana pendidikan hanya dikelola oleh satu departemen, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, akan memberikan dampak luar bisa kepada perkembangan madrasah pada masa datang. Apalagi UU No.20/2003 telah menegaskan bahwa madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal kedududukan, status, dan kurikulum sama persih dengan sekolah umum, maka secara yuridis ide pendidikan satu atap ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang sangat kuat.
Pada tataran praktis, kalau ummat Islam khawatir memudarnya idealisme pendidikan Islam di madrasah, kenapa tidak dibuka saja satu jurusan baru di SMA, jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya, yang khusus mengakomodir keinginan peserta didik untuk mempelajari agama Islam secara lebih mendalam? Apalagi bukankah juga sudah ada ribuan pesantern yang memfasilitasi keinginan itu? wacana tentang “pendidikan satu atap ini” sangat debatable, karena ada banyak kepentingan di situ. Tapi poin saya adalah semua kalangan dalam pendidikan Islam tidak boleh berhenti mencarikan solusi terbaik agar madrasah tidak terus menerus menjadi anak tiri, agar madrasah bisa “dipangku ibu pertiwi” dalam makna yang sesungguhnya.

DAFTAR REFRENSI
Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam. (2008). Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta: Ditjen Penais Departemen Agama.
Hasbullah, 2001, cet. 4 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Prof. Dr. suwito, sejarah sosial pendidikan islam, Kencana, Jakarta 2005. Hlm : 214
Mahmud yunus, sejarah pendidikan islam, Hidakarya agung, Jakarta 1985.
Depag, Rekronstruk sisejarah  pendidikan islam di Indonesia, depag 2006.


Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 50
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 889.
Prof. Dr. suwito, sejarah sosial pendidikan islam, Kencana, Jakarta 2005. Hlm : 214
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 160.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 161.
Hasbulloh, sejarah pendidikan islam di Indonesia, PT Raja grafindo persada, Jakarta, 1995, hlm : 162
Mahmud yunus, sejarah pendidikan islam, Hidakarya agung, Jakarta 1985, hlm : 82
Depag, Rekronstruksisejarah  pendidikan islam di Indonesia, depag 2006, hlm : 98
Depag, Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta 2008, Ditjen Penais Departemen Agama. Hlm : 39
Depag, Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta 2008, Ditjen Penais Departemen Agama. Hlm : 41
Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung 1999, CV. Pustaka Setia. Hlm : 151
Depag, Kebijakan Departemen Agama dalam Peningkatan Mutu Madrasah di Indonesia. Jakarta 2008, Ditjen Penais Departemen Agama. Hlm : 45
Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung 1999, CV. Pustaka Setia. Hlm : 155



JIKA SOBAT KESULITAN UNTUK MENDAPATKAN FILENYA, SOBAT BISA MENDAPATKANNYA DI SINI............




Sistem Pendidikan klasik



Sistem Pendidikan klasik
Sistem Pendidikan Nasional menetapkan Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap perkembangan institusi sekolah dan Departemen Agama terhadap madrasah dan pesantren. Perkembangan sistem pendidikan semakin mengakui eksistensi madrasah sebagai bagian integral dari sistem, menjadikan madrasah diakui sama dalam segala aspek. Dalam penelitian ini kami mengajukan hipotesis tentang sekolah unggul, yang dikembangkan dari konsep sekolah efektif (school effectiveness).
Berangkat dari kajian historis tentang pengembangan madrasah yang telah dimulai sejak sebelum abad 20, penelitian dimulai dengan sejarah perkembangan madrasah sampai munculnya proyek-proyek pengembangan madrasah dibawah pengelolaan Departemen Agama tahun 1993, yang kemudian memunculkan institusi-instituli madrasah unggulan yang kemudian dikenal dengan istilah madrasah model, madrasah unggulan dan madrasah terpadu. Konsep pengembangan madrasah-madrasah unggulan ini, meskipun dikembangkan dengan lembaga donor yang berbeda, secara garis besar memiliki konsep dan pendekatan yang hampir sama; ingin menciptakan institusi madrasah yang unggul dan efektif, mengarahkan penelitian pada pengujian hipotesis tentang karakteristik madrasah unggul (excelent madrasah).
 Dalam kajian tentang perkembangan madrasah pada Bab II, penulis mengungkapkan beberapa data tentang perkembangan madrasah yang dimulai pada masa kemerdekaan, yang dibagi dalam 3 sub bahasan, yaitu madrasah masa wajib belajar, masa masa penegerian, dan madrasah era restrukturisasi. Perkembangan madrasah menjadi bagian daari sistem pendidikan nasional merupakan bahasan selanjutnya dalam bab ini, dibagi dalam 4 sub bahasan, yaitu madrasah dalam setting setelah SKB 3 menteri tahun 1975, setelah UUSPN tahun 1989, setelah tahun 1999, dan setelah UUSPN No. 20 tahun 2003. Pembahasan tentang perkembangan madrasah di ormas Nahdlatul Ulama merupakan kajian yang menarik, untuk mencari akar perkembangan madrasah menjadi sebauh sistem pendidikan klasikal di pesantren. Kemudian di akhir bab ini juga dikemukakan konsep sekolah unggul milik Muhammadiyah sebagai bahan perbandingan.   
Diskusi dalam bab III mengetengahkan konsep  pengembagan madrasah unggulan, model dan terpadu. Bahasan tentang madrasah model, dimana bahasan dimulai dengan melihat dasar kebijakan terbentuknya madrasah model. Keunggulan madrasah model banyak terlihat pada ketercukupan sarana dan prasarana yang ada pada madrasah model dan peningkatan kualitas kepala madrasah, guru dan tenaga kependidikan lain, termasuk kapasitas pengawas yang terlibat.  
Madrasah terpadu merupakan pengembangan kelanjutan dari madrasah model, bertujuan mengumpulkan kekuatan atau kelebihan madrasah yang berdekatan atau dalam satu komplek pendidikan yang terpadu (satu atap). Konsep keterpaduan madrasah pada dasarnya adalah menyatukan 3 jenjang pendidikan dasar dan menegah dalam satu atap. Dal;am bahasan ini juga diungkapkan konsep dasar pengembangan, struiktur organisasi, tipologi, kurikulum dan sarana dan prasarana.
Konsep madrasah unggulan  merupakan konsep yang dikembangkan pertama kali oleh BPPT (Badan Penkajian dan Penerapan Teknologi) yang kemudian diwariskan ke Departemen Agama. Konsep ini unik, karena memadukan sistem sekolah umum dengan keunggulan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (iptek) dengan konsep pendidikan pesantren dengan keunggulan iman dan taqwa (Imtaq). Bahasan ini juga mengetengahkan dasar kebijakan, visi misi, manajemen keuangan, kurikulum dan manajemen kesiswaan dalam madrasah unggulan.
                Analisis model pengembangan madrasah merupakan bahasan lanjutan yang mengetengahkan diskusi dan analisis dalam hal kebijakan, pengembangan sumberdaya, sarana dan prasarana, manajemen kesiswaan, peningkatan manajerial kepala madrasah dan pengembangan kurikulum. Dalam bab ini pula hipotesis yang diajukan dalam Bab I diuji, dibahas dan bandingkan dengan konsep yang telah diulas pada bahasan sebelumnya. Dalam hipotesis didepan diungkapkan bahwa keunggulan madrasah bisa dilihat dalam dalam beberapa ciri keunggulan, : (1) Kepemimpinan dan manajement yang kuat (2) kualitas sumberdaya yang terus ditingkatkan (3) Input siswa berkualitas (4) keberadaan sarana dan prasarana yang mendukung, termasuk sistem asrama jika dimungkinkan (5) kurikulum yang berkembang, termasuk extra-kurikuler (6) kerjasama kelembagaan dan dukungan masyarakat. 
Pada aspek kepemimpinan dan manajemen, mengacu kepada konsep yang dikembangkan madrasah model, kepemimpinan madrasah dipacu dengan peningkatan kualitas kepribadian, peningkatan kemampuan manajerial dan pengetahuan kosep-konsep pendidikan kontemporer yang dipacu dengan short-course , orientasi program, dan studi banding, dimana program-program ini dilaksanakan secara simultan dan kontinyu.
Peningkatan kualitas sumberdaya dimulai dengan peningkatan kualitas guru bidang studi dengan  memberikan kesempatan belajar di jenjang pendidikan S-2 di dalam dan luar negeri dan short-course sesuai dengan kebutuhan. Peningkatan kualitas tenaga kependidikan seperti tenaga ahli perpustakaan, laborat dan administrasi juga merupakan fokus garapan dalam peningkatan kualitas madrasah model. Program-program yang dikembangkan juga beragam. Dan yang unik, peningkatan kualitas sumberdaya manusia juga melibatkan komite madrasah, pengawas pendidikan, pengurus Kelompok Kerja Guru dan Departemen Agama di tingkat Kabupaten/Kota (Kandepag).
Peningkatan mutu sarana dan prasarana pendidian difokuskan untuk pengadaan peralatan dan ruangan Laboratorium terpadu, Lab Fisika, Biologi, Bahasa dipadukan dengan Lab. Komputer. Dengan adanya Lab terapdu ini, madrasah model, unggulan dan terpadu dimungkinkan untuk melakukan pembelajaran mandiri, sebab sudah dilengkapi dengan modul-modul yang memacu pembelajaran aktif (active learning) dan pembelajaran berbasis kompetensi. Pemberian blockgrant imbal-swadaya untuk peningkatan fasilitas pendidikan juga ditawarkan dengan maksud menggerakkan partisipasi masyarakat dengan perimbangan 70 banding 30. Artinya pemerintah hanya memenuhi 70% kebutuhan peningkatan sarana, sementara 30% diharapkan dari partisipasi masyarakat.    
Keberadaan sistem asrama di MAN Insan Cendekia, sebagai proyotype madrasah unggulan di lingkungan madrasah juga merupakan salah satu faktor yang memicu keunggulan madrasah. Dengan adanya sistem boarding di MAN Insan cendekia, pembelajaran siswa menjadi lebih terarah, berkualitas dan memadai. Terarah, karena pembelajaran di kelas dan di asrama didesain untuk saling mendukung dn melengkapi untuk mencapai tujuan utama pendidikan. Berkualitas, karena pembelajaran di asrama dan di luar jam sekolah memungkinkan untuk lebih diperdalam dan ditingkatkan Memadai karena waktu yang tersedia tidak hanya terbatas di waktu yang dialokasikan di jam belajar sekolah saja.        
Kurikulum madrasah juga digarap sedemikian rupa untuk memacu keunggulan dalam aspek muatan lokal, ketrampilan-ketrampilan vocasional, dan ekstra kurikuler.  Dalam pengembangan muatan lokal di madrasah model dimungkinkan penambahan jam belajar diluar jam sekolah, sehigga siswa berada lebih lama di madrasah. Muatan lokal bisa berbentuk ciri khas keunggulan daerah seperti kesenian, budaya, bahasa, ketrampilan khusus, sesuai dengan kebutuhan. Ketrampilan vokasional merupakan ketrampilan yang dibutuhkan untuk memperoleh kahlian khusus di bidang-bidang pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus, seperti pertanian, perbengkelan, tata-busana, tata-boga, dll. Sedangkan kegiatan ekstra adalah kegiatan pendukung yang memingkinkan siswa untuk meningkatkan minat dan bakat, misalnya seni, pramuka, palang-merah, pecinta-alam, organisasi siswa, koperasi pelajar, musik, drumband, komputer, dan lain sebagainya.
Kerjasama kelembagaan dan menggerakkan dukungan msyarakat merupakan keunggulan madrasah yang memang sudah menjadi ciri khas, sebab pada dasarnya madrasah merupakan community based education. Ketersediaan pendanaan sektor pendidikan madrasah yang terbatas dan sustainabilitas program pengembangan madrasah mutlak membutuhkan dukungan masyarakat dan kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah maupun pemerintah. Hal ini sudah dirintis sejak program perintisan madrasah model, unggulan dan terpadu, seagai sebuah exit strategy  yang diterapkan dengan melibatkan masyarakat dan pemrintah terkait dalam perencanaan program dan evaluasi.
Aspek yang penulis anggap penting dalam pengelolaan madrasah unggulan adalah manajemen kesiswaan, dimana input madrasah dipilih untuk memacu kualitas proses pembelajaran yang bermuara kepada output pendidikan yang berkualitas pula. Mekanisme pemilihan atau lebih tepat penyaringan dilakukan dengan tes wawancara dan tulis, untuk melihat tataran akademis, kepribadian, bakat dan kemampuan-kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk bisa dikembangkan dalam pendidikan yang lebih tinggi. 

1.        Madrasah merupakan institusi dengan keunikan-keunikan yang menjadikannya memungkinkan untuk selalu dikaji aspek-aspek keunikan tersebut. Misalkan dengan muatan materi-materi keagamaan yang ada dalam kurikulum madrasah menjadikan kurikulum madrasah menjadi kurikulum nasional plus agama. Keunggulan dari aspek kurikulum ini memungkinkan nilai tawar yang lebih tinggi, asal dikemas dalam kemasan yang mamapu menunjukkan kehebatan “barang” yang ada dalam kemasan. Bagaimana caranya, itu mungkin perlu dikaji dengan melakukan komparasi dengan pengemasan kursus-kursus vokasional yang jauh lebih sederhana aspek manajerialnya.     
2.        Benarkah dengan eksistensinya sebagai model pendidikan berbasis masyarakat menjadi institusi yang selalu tertinggal dengan institusi sekolah yang muncul belakangan. Padahal, dengan dukungan yang lebih besar dari masyarakat, dibandingkan sekolah, lazimnya institusi yang didukung oleh lebih banyak pihak akan lebih cepat berkembang. Pasti ada yang salah dalam konsep atau dalam tataran aplikasinya. Untuk mencari dimana sumber permasalahan mengapa madrasah tertinggal, padahal lebih dahulu start, dukungan lebih banyak, dan sarat dengan keunggulan, tetrutama madrasah yang berbasis pesantren, diperlukan penelitian lanjutan mencari kadr permasalahan tersebut. Dalam penelitian ini sudah diungkapkan bahwa salah satu faktor keunggulan dalam madrasah model, unggulan dan terpadu ada pada exit startegy yang sudah dirintis sejak program dirintis.
3.        Penelitian lanjutan juga diperlukan untuk melihat kemungkinan penerapan konsep-konsep pengembangan madrasah unggulan (exelent school)  dalam membangun madrasah secara makro dengan skala lebih besar (Scalling Up ). Sebab madrasah membutuhkan grand strategy untuk menentukan kemana madrasah ini akan dibawa dan bagaimana jalan terbaik untuk mengarah kesana. Dari penelitian ini kami berharap ada penelitian lanjutan untuk merumuskan sebauah grand-design pengembangan madrasah  untuk menentukan arah kebijakan pengembangan madrasah ke depan. Sebab, meskipun kami belum berani mengatakan dengan tegas bahwa grand design itu belum ada, tetapi penelitian kami terhadap dokumen tertulis yang selama ini dibuat untuk menentukan rencana jangka panjang belum bisa dikatakan grand design.




JIKA SOBAT KESULITAN UNTUK MENDAPATKAN FILENYA, SOBAT BISA MENDAPATKANNYA DI SINI............




adf.ly

http://adf.ly/?id=1499578