HADITS MAUDU’
Tugas Makalah Mata Kulliah
Ilmu Hadits
Dosen Pembimbing
Dr. Kasman A. Rohim
Oleh
Moh. Sunarji
MAHASISWA PASCASARJANA PROGRAM MAGISTER
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JEMBER 2011
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak yang mengandung ayat-ayat yang bersifat mujmal, mutlak, dan ‘am. Oleh karenanya kehadiran hadits befungsi untuk “ tabyin wat taudhih “ terhadap ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadits umat Islam tidak akan mampu menangkap dan merealisasikan hokum-hukum yang terkandung didalam Al-Qur’an secara mendalam. Ini menunjukkan hadits menduduki posisi yang sangat penting dalam literature sumber hokum Islam.
Sungguhpun hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar, namun hadits tidak spserti Al-Qur’an yang secara resmi telah ditulis pada zaman Nabi dan dibukukan pada masa khalifah Abu Bukar As-Shiddiq. Hadits baru ditulis dan dibukukukan pada masa Kekkhalifahan Umar bin Abdul Aziz (abad ke 2 H) memlalui perintahnya kepala gubernur Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm dan bahkan kepada tai’I wanita ‘Amrah binti Abdur Rahnman.
Kesenjangan waktu antara sepeninggal Rosulullah SAW dengan waktu pembukuan hadits (hamper 1 abad ) merupakan kesempatan yang baik bagi orang-orang atau kelompok tertentu untuk memulai aksinya membuat dan mengatakan sesuatu yang kemudian dinisbatkan kepada Rosulullah SAW dengan alas an yang dibuat-buat. Penisbatan sesuatu kepada Rosulullah SAW seperti inilah yang selanjutnya dikenal dengan hadits palsu atau Hadits Maudlu’.
Hadits maudlu’ ini sebenarnya tidak layak untuk disebut sebagai dhadits, karena ia sudah jelas bukan sebuah hadits yang bisa disandarkan pada Nabi SAW. Lain hanya dengan hadits dla’if yang diperkirakan masih ada kemungkinan ittishal pada Nabi SAW. Hadits maudlu’ iniberbeda dengan hadits dla’if. Hadits maudlu’ sudah ada kejelasan akan kepalsuannya, sementara hadits dla’ifbelum jelas, hanya samar-samar. Sehingga karena kesamarannya hadits tersebut disebut dengan dla’if. Tapi ada juga yang memasukkan pembahasan hadits maudlu’ ini kedalam hadits dla’if.
Berbagai hadits maudlu’ dan dla’if ini, sbagaiman hadits shahih yang telah banyak tersebar dan beredar dalam masyarakat, dan diakui sebagai sebuah hadits yang berasal dari Nabi. Disinilah kemudian hadits maudlu’ perlu dimasukkan ke dalam kelompok kajian ilmu hadits ini, meskipun sebenarnya ia bukanlah sebuah hadits.
A. Pengertian Hadits Maudlu’
Al-maudlu’ adalah isim maf’ul dari wadla’a – yadla’u – wadl’an, yang mempunyai arti al-isqath (melakukan atau menyimpan), atau mempunyai arti al-iftira’ wal-ikhtilaq (mengada-ada atau membuat-buat, dan al-tarku (ditinggal).
Sedangkan pengetian hadits maudlu’ menurut istilah adalah :
ما نسب الى رسول لله صلى الله عليه وسلم اختلافا وكذبا مما لم يقله او يفعله او يقره وقال بعضهم هو المختلق المصنوع
“ Hadits yang disandarkan kepada Rosulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, tidak berbuat ataupun tidak menetapkan “
Sebagian, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits maudlu’ ialah :
هو المختلع المصنوع المنصوب الى رسول لله صلى الله عليه وسلم زورا وبهتانا سواء كان ذلك عمدا او خطاء
“ Hadits yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rosulullah SAW secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak “.
Jadi atas pengertian ersebut hadits maudlu’ itu adalah bukan hadits yang bersumber dari Rosulullah SAW atau dengan kata lain bukan hadits Rosul, akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alas an kemudian dinisbatkan kepada Rosulullah SAW.
Para Ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits, berikut ini akan dikemukakan pendapat mereka, yaitu :
1. Menurut Ahmad Amin, bahwa hadits maudlu’terjadi pada msa Rosulullah SAW masih hidup, alas an yang dijadikaan argumentasi ini adalah sabda Rosulullah SAW :
من كذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من النار
“ Barang siapa yang secara sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya dia mengambil tempat di neraka “
Menurutnya, dengan dikeluarkannya sabda tersebut, Rosulullah SAW mengira telah ada pihak-pihak yang ingin berbuat bohong kepada diri beliau. Oleh karena itu, hadits tersebut merupakan respon tehadap fenomena yang ada saat itu, yang berarti menggambarkan bahwa kemungkinan besar pada zaman Rosulullah SAW telah terjadi pemalsuan hadits. Sehingga Rosulullah SAW mengancam kepada para pihak yang membuat hadits palsu.
Ahmad Amin juga memaparkan satu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwasanya suatu waktu Basyir Al-‘Adwy menemui Ibnu Abbas, kemudian mereka berbincang-bincang dan Basyir berkata “Telah bersabda Rosulullah SAW …. “ Akan tetapi Ibnu Abbas mengacuhkan haditanya dan tidak memperhatikan apa yang dikatakannya. Kemudian ia berkata : “Wahai putra Abbas, perhatikanlah aku, tak maukah engkau mendengarkan haditsku ? aku beritahukan kepadamu hadits dari Rosulullah SAW, tapi engkau tidak mendengarkanku !” Ibnu Abbas berkata : Kita itu hidup dalam satu masa. Jika ada seseorang berkata “Telah bersabda Rosulullah SAW, maka aku akan bersegera ke sana, perhatian dan keinginanku akan mengarah kesana. Maka ketika seseorang itu tidak bisa menjangkaunya maka ia tidak akan meriwayatkannya kecuali ia benar-benar sudah tahu” Ahmad Amin juga memaparkan bahwa semenjak Islam melakukan penaklukan ke berbagai daerahIslam mulai meluas ke berbagai daerah dan mereka berbondong-bondong masuk Islam, maka sebenarnya dari situ potensi melakukan pemalsuan ( wadl’u ) hadits muncul.
2. Shalah Al-Din Al-Dlabi mengatakan bahwa pemalsuan hadits berkenaan dengan masalah keduniaan telah terjadi pada masa Rosulullah SAW. Alasan yang dia kemukakan adalah hadits riwayat Al-Thahawi (w.321 H/933 M) dan Al-Thabrani (w.360 H/971 M). Dalam kedua hadits tersebut dinyatakan bahwa pada masa Nabi ada seseorang telah membuat berita bohong mengatasnamakan Nabi. Orang itu mengaku telah diberi wewnang Nabi untuk menyelesaikan suatu masalah di suatu kelompok masyarakat di sekitar Madinah. Kemudian orang itu melamar seorang gadis dari masyarakat tersebut, tetapi itu ditolak. Masyarakat tersebut lalu mengirim utusan kepada Nabi untuk mengkonfirmasikan berta utusan dimaksud. Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh seseorang yang mengatasnamakan beliau, Nabi lalu mengutus shahabatnya untuk membunuh orang yang berbohong tersebut, seraya berpesan, apabila ternyata orang yang bersangkutan telah meninggal dunia, maka jasad orang itu agar dibakar. Dalam hadits ini, baik yang diriwayatkan Al-Thahawy atau Al-Thabrani ternyata sanadnya lemah (dla’if). Karena itu kedua riwayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil.
3. Menurut Jumhur Al-Muhadditsinbahwa pemalsuan hadits itu terjadi pada masa keKhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib RA, mereka beralasan bahwa keadaan hadits sejak zaman Nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan antara ‘Ali bin Abi Thaloib dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan (w. 60 H/680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan. Pada masa zaman Nabi jelasw tidak mungkin terjadi pemalsuan hadits, sedangkan pada masa ke-Khalifahan Abu Bakar As-Shiddiq, ‘Umar bin Khatthab, dan ‘Utsman bin ‘Affan juga belum terjadi pemalsuan hadits. AHal ini dpat dibuktikan betapa gigihnya, hati-hati, dan waspada mereka terhadap hadits, bahkan beliua pernah membakar catatan-catatan hadits miliknya. Putrid beliau, Siti ‘A’isyah mmenyatakan bahwa ayahnya telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadits. Sikap Abu Bakar Ra. Ini disebabkan karena beliau khawatir slah dalam meriwayatkan hadits. Umar bin Khatthab juga sangat dikenal sebagai salah seorang yang sangat waspada dan berhati-hatidan meriwywtkan dan menerima hadits. Dalam kaitannya dengan ini, Abu Hurairah menyatakan, bahwa sekiranya dia banyak metiwwyatkan hadits pada zaman Umar, niscaya dia akan dicambuk oleh Umar. Sikap Abu Bakar dan Umar juga diikuti oleh Utsman bin Affan. Dalam suatu kesempatan khutbah, beliau pernah meminta kepada para shahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah mendengar hadits itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Utsman ini memperlihatkan bahwa beliau mengakui dan membenarkan sikap hati-hati kedua khalifah pendahulunya dan sekaligus ingin melajutkan sikap tersebut.
Berlainan dengan masa ketiga Khalifah tersebut, pada masa Ali bin Abi Thalibtelah jadi perpecahan poltik antara golongan ‘Ali dan Mu’awiyah. Upaya ishlah melalui tahkim tidak mampu meleraikan pertentangan mereka, bahkan semakin menambah ruwetnya maslah dengan keluarganya sebagian pengikut ‘Ali (Khawarij) dengan membentuk kelompok sendiri. Golongan yang tarakhir ini kemudian tidak hanya memusuhi ‘Ali dan pengikutnya akan tetapi juga melawan Mu’awiyah dan pengikutnya.
Masing-masing golongan, selain berusaha saling mengalahkan lawannya, juga berupaya mempengaruhi orang-orang yang tidak berada dalam peerpecahan. Salah satu cara yang mereka tempuh ialah dengan membuat hadits palsu. Dalam sejarah dikatakan bahwa yang pertama-tama membuat hadits palsu adalah golongan Syi’ah, dan yang paling banyak diantara mereka adalah dari golongan Syi’ah Rafidhah.A. Latar Belakang Terjadinya Hadits Maudlu’
Berdasarkan data sejarah yang ada, pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam, akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non Islam. Ada bebepara motif yang mendorong mereka membuat hadits palsu, antara lain :
1. Pertentangan Politik
Perpecahan umat Islam yang diakibatkan politikkk yang terjadi pada masa kekhalifahan ‘Ali bin Abi Thalib besar sekali pengaruhnya terhadap perpecahan umat kedalam beberapa golongan dan bermunculan hadits-hadits palsu. Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang yang membawa-bawa Al-Qur’an dan Sunnah. Sungguh sangat disayangkan ! konnflik-konflik telah menyeret permasalahan keagamaan masuk ke dalam arena perpolitikan dan membawa pengaruhh juga pada madzhab-madzhab keagamaan. Pada akhirnya masing-masing kelompok berusaha mencari dalilnya ke dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dalam rangka mengunggulkan kelompok atau mmmadzhabnya masing-masng. Ketika tidak ditemuinya maka mereka mulai membuat pernyataan-pernyataan yang disandarkan pada Nani Muhammad SAW. Dari sinilah hadits palsu mulai berkembang. Materi hadits palsu pertama mengangkat tentang keunggulan seseorang dan kelompoknya.
Menurut Ibnu Abi Al-Haddad dalam “Syarah Najh Al-Balaghah” sebagaimana dikutip oleh Musthafa Al-Siba’I, bahwa pihak yang pertama-tama membuat hadits palsu adalah dari golongn Syi’ah, dan kelompok Ahlus Sunnah menandinginya dengan hadits-hadits lain yang juga maudlu’.
Ibnu Al-Mubarak mengatakan :
الدين لاهل الحديث والكلام والخيل لاهل الراءي والكذب للرافضة
“Agama itu untuk ahli Hadits, percakapan dan menghayal untuk ahli ra’yi, dan kebohongan itu untuk golongan Rafidah”
Hammad bin Salamah pernah meriwayatkan bahwa ada salah seorang tokoh Rafidah berkata : “ Sekiranya kami pandang baik, segera kami jadikan hadits”. Imam Syafi’I juga pernah berkata “Saya tidak melihat pemuas hawa nafsu yang melebihi sekte Rafidah dalam membuat hadits palsu” Contoh hadits palsu yang dibuat oleh kaum Syi’ah antara lain :
يا علي ان الله غفرلك ولذريتك ولوالديك ولاهلك ولشيعتك ولمحبي شيعتك
“Wahai ‘Ali sesungguhnya Allah SWT telah mengampunimu, keturunanmu, kedua tuamu, keluargamu, (golongan) Syi’ahmu, dan orang-orang yang mencintai (golongan) Syi’ahmu.
Golongan Mu’awiyah juga membuat hadits palsu, sebagai contoh dapat dikemukakan :
الامناء ثلاثة انا وجبريل ومعاوية انت مني يامعاوية وانا منك
“Tiga golongan yang dapat dipercaya, yaitu saya (Rasulullah ), Jibril dan Mu’wiyah. Kamu termasuk golonganku dan aku bagian dari kamu”.
Sedangkan golongan Khawarij menurut data sejarah tidak pernah membuat hadits palsu.
2. Usaha Kaum Zindik
Kaum Zindik termasuk kaum golongan yang membenci Islam, baik Islam sebagai agama atau sebagai dasar pemerintahan. Mereka tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrintasi dan pemalsuan Al-Qur’an, maka cara yang paling tepat dan memungkinkan adalah melalui pemalsuan hadits, dengan tujuanuntuk menghancurkan agama Islam dari dalam. ‘Abdul Karim ibnu ‘Auja yang dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman bin ‘Ali, Wali wilayah Bashrah, ketika hukuman akan dilakukan dia mengatakan “Demi Allah saya telaha membuat hadits palsu 4000 hadits”. Seorang Zindik telah mengaku dihadapan Khalifah Al-Mahdi bahwa dirinya telah membuat ratusan hadits palsu. Hadits palsu ini telah tersebar di kalangan masyarakat. Hammad bin Zaid mengatakan “Hadits palsu yang diuat oleh kaum Ziundik ini berjumlah 12000 hadits”. Contoh hadits palsu yang dibuat oleh golongan Zindik ini adalah :
النظر الى الوجه الجميل صدقة
“Melihat wajah cantik adalah shodaqah/ibadah”
1. Fanatik terhapdap bangsa, Suku. Negeri, Bahasa, dan Pimpinan.
Mereka membuat hadits palsu karena didorong oleh sikap ego dan fanatic buta serta ingin menonjolkan sesorang, bangsa, kelompok atau yang lain. Golongan Al-Syu’ubiyah yang fanatic terhadap bahsa persi mengatakan :
ان الله اذا غضب انزل الوحي بالعربية واذا رضي انزل الوحي بالفارسية
“Apabila Allah murka, maka Dia menurunkan wahyu dengan bahasa arab dan apabila senang maka akan menurunkannya dengan bahasa Persi”.
Sebaiknya orang arab yang fanatic terhadab bahasanya mengatakan :
ان الله اذا غضب انزل الوحي بالفارسية واذا رضي انزل الوحي بالعربية
“Apabila Allah murka, menurunkan wahyu dengan bahasa Persi dan apabila senang menurunkannya dangan bahasa Arab”.
Golongan yang fanatik kepada madzhab abu Hanifah pernah membuat hadits palsu ”Dikemudian hari aka ada seorang umatku yang bernama Abu Hanifah bin Nu’man, Ia ibarat obor bagi umatKu”.
Demikian pula golongan yang fanatic menentang Imam Syafi’I membuat hadits palsu, seperti “Di kemudian hari aka nada seorang umatKu yang bernama Muhammad bin Idris, ia akan lebih menimbulkan madlarat kepada umatKu dari pada Iblis”.
2. Mempengaruhi Kaun Awam dengan kisah san Nasihat
Mereka melakukan pemalsuan hadits ini guna memperoleh simpatik dari pendengarannya dan agar mereka kagum melihat kemampuannya. Hadits yang mereka katakan terlalu berlebih-lebihan dan tidak masuk akal. Sebagaimana contoh dapat dilihat pada hadits berikut :
من قال لااله الا الله خلق الله من كل كلمة طائرا منقاره من ذهب ووريشه من مرجان
“Barang siapa yang mebgucapkan kalimat maka Allah akan menciptakan seskor burung (sebagai balasan) dari tiap-tiap kalinat yang paruhnya terdiri dari emas dan bulunya dari marjan”.
Yaberkediaman di Baghdad menafsirkan firman Allah SWT :
عسى ان يبعثك ربك مقاما محمودا (الاسراء 17 : 97 )
Dengan arti bahwa “Nabi duduk bersanding dengan Allah di atas ‘Arsy-Nya”. Riwayat ini sampai kepada Muhammad bin Jarir Al-Thabary dan beliau menjadi marah karenanya”. Untuk menunjukkan kemarahanya itu, beliau menulis pada pintu rumahnya “Maha Suci Allah yang tidak memerlukan teman yang baik dantidak pula seorangpun yang duduk menemani-Nya di ‘Arsy-Nya”.
Ayyub Al-Sikhtiyani memberikan komentar terhadap akibat dari pengaruh para tukang cerita dalam merusak hadits :
ما افسد على الناس حديثهم
“Tiada sejelk-jeleknya pembeicaraan kecuali (yang berasal) dari tukang cerita”.
3. Perselishan Madzhab dan Ilmu Kalam
Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut Madzhab. Mereka berani melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatic dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.
Diantara hadits-hadits palsu tentang masalah ini adalah :
a. Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat, maka shalatnya tidak sah.
b. Jibril menjadi imamku dalam shalat di Ka’bah, ia (Jibril) membaca basmalah dengan nyaring.
c. Yang junub wajib berkumur dan menghisap air tiga kali.
d. Semua yang ada dibumi dan langit serta di antara keduanya adalah makhluk, kecuali allah dan Al-Qur’an. Dan kelak aka nada di antara umatku yang menyatakan Al-Qur’an itu makhluk”. Barang siapa yang menyatakan demikian, niscaya ia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung dan saat itu pula jatuhlah talak kepada iterinya.
4. Membangkitan gairah bribadah, tanpa mengerti Apa yang Dilakukan
Banyak di antara para ‘Ulama yang membuat hadits palsu dan bahkan mengira usahanya itu benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah, serta menjunjung tinggi agama-Nya. Mereka mengatakan ‘Kami berdosa semata-mata untuk menjunjung tinggi nama Rosulullah dan bukan sebaliknya”. Nuh bin Maryam telah membuat hadits berkenaan dengan fadilah membaca surat-surat tertentu dalam Al-Qur’an. Ghulam Al-Khail (dikenal ahli Zuhud) membuat hadits tentang keutamaan wirid dengan maksud memperhalus kalbu manusia.
Dalam kitab Tafsir Al-Tsa’laby, Zarmarkhsyari dan Baidlawy terdapat banyak hadits palsu. Begitu juga dalam kitab Ihya’ ‘Ulumid Din.
1. Menjilat Penguasa
Ghiyas bin Ibrahim merupakan tokoh yang banyak ditulis dalam kitab hadis sebagai pemalsu hadis tentang “perlombaan” matan asli sabda Roasulullah berbunyi :
لا سبق الا في فضل او خف
Kemudian Ghiats menambah kataاو جناحdalam akhir hadis tersebut. Dengan maksud agar diberi hadiah atau simpatik dari khalifah Al-mahdy . setelah mendengar hadis tersebut, Al-Mahdy memberikan hadiah sepuluh ribu dirham, namun ketika Ghiasmembalik hendak pergi, Al-Mahdy menegurnya, serayabekata “aku yakin itu sebenarnya merupakan dusta atas nama Rosulullah”. Menyadari akan hal itu, saat itu juga khalifah memerintahkan untuk menyenbelih burung merpatinya. Dari beberapa motif membuat hadis palsu diatas, kiranya dapat dikelompokkan menjadi :
Pertama, adayang karena sengaja;kedua ada yang tidak sengaja merusak agama; ketiga ada yang karena keyakinannya bahwa membuat hadispalsu diperbolehkan; dan keempat ada yang karena tidak tahu bahwa dirinya membuat hadis palsu.Dapat juga dikatakan bahwa tujuan merekamembuat hadis palsu ada yang negatif dan ada yang menganggap mempunyai nilai positif.Sekalipun demikian, Tetap harus dikatakan apa pun alasan yang mereka kemukakan, bahwa membuat dan meriyawatkan hadis palsu merupakan perbuatan tercela dan menyesatkan. Karena hal ini sangat bertentanga dengan sabda Rosulullah SAW seperti yang telah disebutkan terdahulu.
A. Kriteriya Kepalsuannya. (dari segi rawi dan matannya )
Ada beberapa patokan yang bisa dijadikan alat untuk mengetahui identifikasi bahwa hadits itu palsu atau Shahih, diantaranya :
a. Dalam Sanad
1. Atas dasar pengakuan para pembuat hadits palsu, sebagaimana pengakuan “Abu ‘Ismah Nuh bin Abi Maryam” bahwa dia telah membuat hadits tentang fadilah membaca Al-Quran, surat demi surat, Ghiyas bin Ibrahim, dan lain-lain. Dalam kaintannya dengan masalah ini Al-Suyuthi menyatakan, bahwa surat-surat Al-Qur’an yang didapati dalam hadits-hadits shahih mengenai keutamaannya hanyalah surat Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali ‘Imran, Al-An’am, dan tujuh surat yang panjang ( dari surat Al-Baqarah hingga surat Al-Bara’ah ), surat Al-Kahfi, surat Yasin, Al-Dukhan, Al-Mulk, Al-Zalzalah, Al-Nur, Al-Kafirun, Al-Ikhlash, dan Al-Mu’awidzatain. Selain terhadap surat-surat tersebut, haditsnya bukanlah hadits Shahih.
2. Adanya qarinah (dalil) yang menunjukkan kebohongannya, seperti menurut pengakuannya ia meriwayatkan dari seorang syeikh, tapi ternyata ia belum pernah menerima hadits di suatu daerah, tapi ia sendiri belum pernah melakukan rihlah (perjalanan) ke daerah tersebut, atau pernah menerima hadits dari syeikh tersebut diketahhui telah meninggal ketika ia masih kecil, dan lain sebagainya.
3. Meriwayatkan hadits sendirian, sementara diri rawi dikenal sebagai pembohong. Sementara itu tidak ditemukan dalam riwayat lain. Maka yang demikian ini ditemukan sebagai hadits maudlu’.
b. Dalam Matan
1. Buruknya redaksi hadits, padahal Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang sangat fasih dalam berbahasa, santun, dan enak dirasakan. Dari redaksi yang jelek ini akan berpengaruh kepada makna ataupun maksud dari hadits Nabi SAW. Kecuali bila siperawi menjelaskan bahwa hadits itu benar-benar menunjukkan datang dan Nabi SAW.
2. Maknanya rusak, Ibnu Hajar menerangkan bahwa kejelasan lafadz ini dititik beratkan pada kerusakan arti, sebab dalam sejarah tercatat “periwayatkan hadits tidak mesti biAl-Lafdzi akan akan tetapi ada yang bi Al-Ma’na, terkecuali bila dikatakatan bahwa lafalnya dari Nabi, baru dikatakan hadits palsu.
3. Matannya bertentangan dengan akal atau kenyataan, betentangan dengan al-Qur’an dan hadits yang lebih kuat, atau ijma’. Seperti hadits yang menyebutkan bahwa umur dunia 7000 tahun. Hadits ini bertentangan dengan QS. Al-l-A’raf (7) : 187, yang intinya bahwa dunia hanya diketahui oleh Allah.
4. Matannya menyebutkan janji yang sangat besar atas perbuatanyang kecil atau ancaman yang sangat besar atas perkara kecil. Seperti hadits yang menyatakan bahwa anak hasil perzinahan tidak masuk surge hingga tujuh turunan. Ini menyalahi QS. Al-An’am (6) ; 164 yang menyatakan bahwa :
ولا تزر وازرة وزر اخرى
“Tidaklah seseorang (yang bersalah) memikul dosa orang lain”.
5. Hadits yang betentangan dengan kenyataan d]sejarah yang benar benar terjadi dimasa rasulullah SAW, dan jelas tanpak kebohongannya , seperti hadis tentang ketentuan jizyah (pajak) pada penduduk khaibar ada beberapa hal yang menjadi kelemahan hadis tersebut . pertama : dikatakan bahwasannya hal itu diriwayatkan dari sa’ad ibn mu’adz , padahal sa’ad telah meninggal sebelum perang khandaq. Kedua kewajiban jizyah saat itu belum di terapkanlai menyeleksi hadis – hadis mereka m .
6. Hadis yang terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat seperti hadis :
انه اخذ علي ابي طلب لمخضر من الصحابة كلهم ثم قال هذا وصي وخي والخليفة من بعدي ثم اتفق الكل على كتمان ذالك
Bahwasanya Nabi SAW memegang tangan Ali bin Abi Thalib di suatu Majlis di antara para sahabat yang lain… kemudian Nabi bersabda:”Inilah wasiatku dan Saudaraku, dan khalifah setelahku..”kemudian sahabat yang lainnya sepakat.
Hadis tersebut jelas kepalsuannya.
B. Usaha Para Ulama untuk menanggulangi Upaya Pemalsuan Hadits
Untuk menyelamatkan hadis nabi SAW ditengah-tengahgencarnya perbuatan hadis palsu, ulama hadis menyusun berbagai kaidah penelitian hadis. Lebih rincinya langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut.
Pertama, meneliti system penyadaran hadis. Para sahabat dan tabi’in tidak sembarangan mengambil hadis dari seseorang. Mereka meneliti dengan seksama proses penukilan hadis dan periwayatan hadis. Padamasa sahabat memang hampir tidak ada penyelewengan hadis, sehingga ketika mereka mendapatkan dari sahabat lain mereka tidak akan menanyaka dari mana hadis ini didapat. Tapi semenjak terjadinya fitnah al – kubra mereka mulai menyeleksi hadis-hadis yang didapat dari orang lain.
Kedua, memilih perawi-perawi hadis yang terpercaya . para ulama menanyakan hadis-hadis yang dipadang kabur atau tidak jelas asal-usulnya kepada para sahabat, tabi’in dan pihak-pihak yang menekuni bidang ini. Mereka tidak akan sembarangan untuk meriwayatkan hadis. Mereka akan memilih dari orang-orang tertentu yang di padang menguasai dan mengetahui persoalan ini .
Ketiga, studi kritik rawi, yang tampaknya lebih dikonsentrasi pada sifat kejujuran atau kebohonganya. Oleh karena itu, mereka tidak akan mengambil dari orang-orang yang dikenal suka berbohong baik didalam kehidupan umumnya, suka berbuat bid’ah dan mengikuti hawa nafsuhnya, orang-orang zindiq, dan orang-orang yang tidak menguasai apa yang disampaikan, dan lain lainnya.
Keempat, menyusun kaidah-kaidah umum untuk meneliti hadis- hadis tersebut. Misalnyasaja mengetahui batasan-batasan hadis sahih, hasan dan dha’if.
Mulai saat itu perkembangan ilmu hadis melaju begitu cepat, demi menyelamatkan hadis-hadis rasul ini. Jadi pada ahkirnya,tujuan penyusunan kaidah-kaidah tersebut untuk mengetahui keadaan matan hadis. Maka disusunlah kaidah-kaidah kesahihannya sanad hadis heserta matanya. Bersamaan dengan ini muncullah sebagai macam ilmu hadis.
Sumber Bacaan
Muzier Suparta, MA,Drs, lmu Hadis, PT. Raja Girafindo Persada, Jakarta 2001
JIKA SOBAT KESULITAN UNTUK MENDAPATKAN FILENYA, SOBAT BISA MENDAPATKANNYA DI SINI............