Latar Belakang Budaya Masyarakat
Perkembangan masyarakat Indonesia sejak zaman dulu, ketika dinasti-dinasti kerajaan masih berkuasa, sampai sekarang, selalu di warnai dengan nuansa-nuansa magis, kepercayaan pada hal-hal irasional, dan selanjutnya berbaur dengan nilai-nilai religius. Kepercayaan ini diejawantahkan melalui simbol-simbol tertentu yang diyakini memiliki nilai-nilai khusus yang transendental. Pada titik tertentu bahkan hal-hal yang mistis tersebut mampu melampaui realitas sebenarnya.
Nuansa mistik yang melingkupi masyarakat terlihat dari pengkultusan seorang raja yang dianggap memiliki kekuatan supranatural, bahkan ada yang menobatkan sebagai manusia setengah dewa. Sang raja diyakini memiliki kekuatan khusus, lebih dari masyarakat biasa, dan harus dihormati melalui tata cara tersendiri, yang membedakan kesetaraan manusia. Contohnya, di Jawa ada larangan bagi masyarakat untuk melihat langsung wajah raja. Nuansa lain terlihat dari kepercayaan masyarakat terhadap benda-benda pusaka, tempat-tempat yang dikeramatkan, ilmu-ilmu magis, dan upacara-upacara sesembahan sebagai bentuk keyakinan adanya makhluk gaib.
Kondisi ini, oleh Auguste Comte (dalam Garna, 2000) dianggap sebagai tahapan perubahan sosial di masyarakat. Comte membagi tiga tahap perkembangan pola pikir yaitu Teologis, Metafisis, dan Positivis. Di tahap awal, masyarakat memahami alam sebagai sebuah wilayah yang memiliki kekuatan tertentu. Munculnya gejala-gejala alam dikaitkan dengan hal-hal magis dari alam itu sendiri. Seperti terjadinya hujan dianggap karena adanya dewa yang sedang menangis. Terjadinya wabah penyakit dianggap sebagai akibat kemarahan penunggu hutan yang minta sesaji. Pada tahap kedua, masyarakat mulai memahami gejala alam bukan hanya hal-hal irasional belaka, tapi ada sesuatu yang menyebabkannya. Namun pola pikir masyarakat belum sampai pada kemampuan analisis. Pada tahap ketiga, ditandai dengan kemampuan berpikir positif, dimana gejala-gejala alam mulai diuraikan pada hal-hal yang rasional, seperti terjadinya siang dan malam diketahui karena adanya perputaran bumi mengelilingi matahari. Hal ini juga menandai kelahiran ilmu pengetahuan.
Pergeseran pola pikir masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Comte tersebut ternyata masih berjalan dalam tahap-tahap yang kaku. Masyarakat yang sudah mencapai tahap berpikir positif ternyata masih membawa-bawa nilai ketradisionalannya, termasuk kepercayaan pada hal-hal yang irasional dan berbau mistik. Bukti konkrit terlihat dari kenyataan di masyarakat, dimana seseorang yang sudah menduduki jabatan penting, berpendidikan tinggi, ternyata masih memerlukan datang ke seorang dukun untuk minta kelanggengan jabatan.
Muchtar Lubis (1977) mengatakan bahwa mempercayai hal-hal gaib, bahkan cenderung “menuhankannya” merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Mereka masih percaya pada benda-benda keramat, seperti kekuatan keris pusaka, sumur keramat para Wali Songo. Bahkan masyarakat sampai sekarang masih mempercayai keramat pada tongkat Soekarno, mantan Presiden RI. Kita juga lihat kepercayaan pada Nyi Roro Kidul di Pantai Selatan Jawa, kekeramatan kuburan di Bukit Siguntang, tuah yang melekat pada makam Kyai Merogan di Kertapati Palembang, dan banyak lagi contoh lainnya.
Muchtar Lubis menganggapnya sebagai ciri khas yang sudah melekat di sebagian besar masyarakat. Sulit menghapusnya, karena ini sudah berlangsung dari zaman pra sejarah sampai sekarang. Penanaman nilai-nilai tersebut juga terus dilakukan, terutama dari generasi tua ke generasi penerusnya.
Pada konteks inilah kita bisa lihat kedekatan masyarakat terhadap hal-hal mistik dan mengandung nilai magis merupakan perjalanan sejarah yang terus berlanjut sampai sekarang. Masuknya nilai-nilai agama ke masyarakat menciptakan nuansa tersendiri yang kemudian membungkus hal-hal mistik tersebut dalam sampul agama. Karena itulah kemudian lahir prilaku-prilaku mistik dengan ritual-ritual agama. Seperti penggunaan kemenyan dalam tahlilan dianggap sebagai cara ampuh agar do’a sampai kepada Tuhan.
Dalam konteks masyarakat modern dewasa ini, gejala tersebut menjadi menarik untuk diperbincangkan. Apalagi ritual mistik dan tempat-tempat yang dianggap keramat kemudian ditayangkan di media massa dan menjadi komoditi yang punya nilai jual tinggi. Di satu sisi ini menunjukkan konteks kreatifitas siaran yang selalu berorientasi profit, namun di sisi lain dapat semakin memperkokoh kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal gaib dan mistis sehingga berpotensi besar memberi jarak terhadap keyakinan pada adanya kekuatan lain (Tuhan) yang berkuasa.
Tinjauan Sosiologi Komunikasi
Kajian ilmu sosiologi komunikasi, khususnya komunikasi massa sangat penting sekali dalam bahasan ini, karena tayangan-tayangan mistis tersebut mengikuti alur dan karakteristik media massa. Komunikasi massa didefinisikan sebagai proses komunikasi dengan menggunakan media massa (TV, Radio, Film, Surat Kabar, Internet) ditujukan kepada khalayak luas yang heterogen, bersifat serempak dengan umpan balik yang tertunda (Mulyana, 2001).
Pengertian ini menegaskan bahwa proses tersebut harus melalui media tertentu. Artinya hubungan yang terjadi adalah antara pengelola media dengan khalayak dan salurannya adalah media. Oleh karena itu, pengelola media menjadi kata kunci terhadap isi yang akan disampaikan.
Onong Uchjana Effendi (2003) menegaskan tentang karakteristik komunikasi massa yaitu :
a. Bersifat umum, artinya jangkauan media massa tidak membatasi diri pada satu kelompok atau satu masalah saja. Ia bisa masuk ke semua topik.
b. Khalayak heterogen, artinya khalayak media massa bisa siapa saja, dapat menimpa khalayak manapun. Tidak ada batasan etnis, umur, pendidikan dan sebagainya.
c. Keserempakan, artinya pesan yang disampaikan oleh media massa diterima khalayak secara bersamaan di semua wilayah. Ini karena sifatnya yang langsung.
d. Hubungan komunikasi non-pribadi, artinya proses yang berlangsung adalah antara media sebagai sebuah lembaga dengan khalayaknya, jadi bukan antara dua individu.
e. Efek tertunda, artinya pesan-pesan yang disampaikan oleh media massa tidak menimbulkan dampak atau memberikan umpan balik saat itu juga. Biasanya butuh waktu beberapa lama barulah umpan balik terlihat.
Karakteristik di atas menegaskan bahwa media massa mempunyai kewenangan besar terhadap massa komunikan. Melalui kekuatan audiovisualnya, televisi mampu menciptakan sebuah realitas ke khalayak. Realitas yang sangat tergantung pada kreatifitas mengkonstruksi oleh pengelola media itu sendiri.
Pengkajian terhadap media massa, terutama kekuatan televisi mempengaruhi khalayak dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Salah satu teori yang representatif menggambarkannya adalah Agenda Setting Theory (Miller, 2003). Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Mc Combs dan Shaw (1972). Inti teorinya adalah jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Artinya, baik menurut media maka baik pula menurut masyarakat.
Terdapat tiga agenda yang berperanan sekali yaitu, agenda media, agenda khalayak, dan agenda kebijaksanaan. Agenda media menekankan pada visibilitas (jumlah dan tingkat menonjolnya tayangan), audience salience (relevansi isi dengan khalayak), valiensi (menyenangkan atau tidak menyenangkan suatu tayangan). Sementara agenda khalayak berkaitan dengan sampai sejauhmana suatu tayangan dapat memenuhi keinginan khalayak, mempertimbangkan nilai-nilai moral atau tidak, nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Sedangkan agenda kebijaksanaan berkaitan dengan terakomodasinya kebijakan-kebijakan ke dalam sebuah agenda. Kebijakan tersebut bisa berkaitan dengan kebutuhan masyarakat secara umum, ataupun program-program pemerintah.
Melihat pada kondisi tayangan-tayangan televisi di Indonesia, jelas sekali bahwa Agenda Setting Theory masih sangat dominan sebagai bahan acuan. Materi-materi yang ditayangkan, di atur dan di rancang oleh pengelola media dan dilemparkan ke masyarakat. Sesuatu yang dikelola dengan baik diyakini akan mendapat respon positif. Masyarakat sendiri tidak berada pada subyek yang aktif, namun cenderung pasif menerima yang ditayangkan.
Pengelola media sendiri tetap melakukan kajian terhadap khalayak (agenda khalayak) mengenai kondisi-kondisi bagaimana yang disenangi khalayak. Dalam hal ini bertemulah kajian budaya dengan sesuatu yang ditayangkan. Analisis terhadap budaya masyarakat, menunjukkan adanya kesenangan terhadap sesuatu yang dramatis, menimbulkan emosi, dan spontanitas. Dari sinilah munculnya konsep reality show, dan pilihan yang tepat adalah tayangan mistik.
Sejalan dengan teori agenda setting, konsep lain yang memperlihatkan kekuatan media adalah Model Jarum Hipodermik. Model ini menegaskan bahwa media bagaikan jarum suntik raksasa yang menyuntik massa komunikannya secara kuat. Komunikan, kendatipun tidak selamanya pasif, namun mampu dipengaruhi oleh media massa. Keinginan dari media massa dengan cepat akan dituruti oleh komunikan, karena adanya faktor terkuat media massa yaitu kesan dramatis. Disinilah emosi khalayak dipermainkan, sehingga khalayak memiliki ketergantungan besar terhadap media.
Tayangan mistik di televisi adalah produk dari media massa yang jika melalui analisis agenda setting dan jarum hipodermik, menunjukkan kekuatan media massa dalam mengkonstruksi sebuah realitas. Masyarakat sendiri memberikan respon dan menguatkan realitas tersebut karena adanya faktor-faktor budaya yang sejalan dengan tema yang diangkat. Tayangan mistik mendapat porsi yang besar karena memang latar belakang masyarakat mampu mengadopsi hal tersebut.
Akan tetapi patut diingat bahwa televisi tetaplah sebuah media yang dikelola oleh orang-orang tertentu. Media sendiri adalah sebuah lembaga yang berorientasikan keuntungan. Tayangan-tayangan ditampilkan media akan dibentuk sedemikian rupa sehingga mempunyai unsur-unsur dramatis, emosional, dan spontanitas. Karena itu, realitas yang ditawarkan media adalah realitas yang dikontruksikan kembali. Disinilah, Yasraf Amir Piliang (2004) menyatakan bahwa realitas itu semu dan sulit untuk mencari kebenarannya. Realitas yang ditawarkan media adalah sebuah simulacrum, tiruan dari yang aslinya dan cenderung melampaui arti yang sebenarnya. Media tetap menunjukkan kekuatannya dan masyarakat yang memang memiliki latar belakang kepercayaan terhadap hal-hal mistis semakin memperkokoh realitas tersebut. Kondisi inilah yang berlangsung di masyarakat sekarang ini, sehingga tayangan-tayangan mistis tetap mendapat tempat.
Tayangan Mistik dalam Perspektif Islam
Menghubungkan analisis tentang tayangan mistik di televisi dengan pandangan Islam sangat penting sekali. Dalam semua tayangan mistis, simbol-simbol keislaman sangat ditonjolkan, seperti pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan kehadiran ulama-ulama Islam. Di sini dimunculkan citra bahwa dunia mistis berkaitan erat dengan Islam. Seseorang yang sedang ketakutan, seseorang yang kesurupan, hanya bisa disembuhkan jika telah dibacakan do’a-do’a tertentu. Itulah realitasnya.
Islam sendiri mengakui adanya mahkluk gaib, sesuatu yang mistis dan transendental. Bahkan ini dimaktubkan dalam Rukun Iman yang diyakini oleh kaum muslim. Percaya kepada malaikat, percaya kepada qada dan qadar adalah pengakuan kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib. Dalam beberapa ayatnya, Al Qur’an sering menyebutkan kata-kata jin, jaan, syaitan, iblis, dan infrit sebagai jenis dari makhluk-makhluk gaib ciptaan Allah SWT.
Penegasan adanya makhluk gaib merupakan alasan pengutusan Muhammad sebagai Rasul Allah, Muhammad diutus bukan hanya untuk dunia manusia saja, tapi juga dunia jin. Surat Al-Anqaf ayat 29-32 menyebutkan bahwa sekelompok jin mendengarkan Al Quran dan mempercayainya. Bahkan secara lebih tegas dalam surat Al Jin ayat 1-5 dijelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan rasulnya untuk memberitahukan keimanan sekelompok jin kepada umatNya.
Perihal kehadiran makhluk gaib ini tidak perlu disangsikan lagi. Al Qur’an surat Adz Zariyat: 56 menyebutkan, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Dapat dipahami bahwa jin dan makhluk gaib adalah ciptaan Tuhan, Al Qur’an mengakui hal tersebut.
Penegasan tersebut serta ketentuan dalam Rukun Iman mengisyaratkan kepada manusia bahwa mengakui adanya makhluk gaib adalah wujud dari pengakuan terhadap kebesaran Tuhan. Keyakinan manusia terhadap makhluk tersebut adalah bukti keimanan. Selanjutnya prilaku yang wajar dalam melihat adanya makhluk gaib adalah dengan menempatkannya sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan, bukan diposisikan sebagai makhluk yang ekslusif dan ditakuti.
Al Qur’an juga mengakui adanya golongan jin yang memang kerjanya mengganggu manusia dan mengajak manusia mengingkari perintah Allah SWT. Ini adalah janji iblis karena telah divonis Allah sebagai makhluk yang tidak diampuni. Iblis akan selalu mengganggu dan merongrong manusia, kecuali mereka yang beriman dan mentaati perintah Allah SWT (QS. Shaad; 82-83). Artinya, makhluk gaib sendiri terbagi atas makhluk yang patuh dan turut aturan Allah dan makhluk yang memang membangkang. Pengakuan seperti inilah yang mesti disadari oleh manusia, sehingga bisa menempatkan makhluk gaib dalam posisi yang sebenarnya, sebagai makhluk ciptaan Allah SWT.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kenapa makhluk gaib diciptakan, terutama iblis yang selalu merongrong manusia. Miftahul Asror (2004) punya jawaban menarik, bahwa itu berguna sebagai penyeimbang bagi kehidupan. Kehidupan menekankan adanya hal-hal yang baik dan buruk, keduanya selalu berdampingan. Jika kehidupan ini baik-baik saja – manusia berprilaku sesuai ketentuan Tuhan – maka dinamika tidak ada lagi. Disinilah perlunya semacam penguji terhadap tindak-tanduk manusia.
Di dalam Al Qur’an juga ditegaskan tentang terputusnya hubungan manusia dengan dunia ketika roh sudah dicabut (kematian). Al Qur’an tidak mengakui pernyataan bahwa mayat dapat hidup kembali setelah dikubur, roh gentayangan, genderuwo, hantu dan sebagainya. Kalaupun terjadi peristiwa seperti kesurupan, kuburan yang terbelah, penampakan pada tempat-tempat tertentu, benda mati yang bisa bergerak, maka ini adalah ulah syetan dan iblis, bukan karena sebab lainnya (Asror, 2004). Kenyataan inilah yang mestinya dipahami, sehingga makhluk gaib bukanlah sosok yang ekslusif, ditakuti dan dianggap sebagai manusia jadi-jadian. Ini akan menggiring pemikiran kita untuk selalu ingat akan kebesaran Allah SWT yang berkuasa menciptakan apapun.
Respon Kultural Masyarakat
Penayangan kisah-kisah makhluk gaib di televisi menimbulkan sejumlah persoalan dan ancaman pada tatanan kehidupan sosial-religius masyarakat. Ini dapat terlihat di kehidupan sehari-hari, seperti munculnya rasa ketakutan berlebihan, kepercayaan kesaktian benda-benda tertentu, air yang mujarab, orang sakti dan sebagainya. Gejala ini jelas menjadi ancaman secara langsung maupun tidak langsung pada keutuhan aqidah islamiyah masyarakat, karena mulai berkembangnya prilaku syirik, sikap menduakan Tuhan.
Harus diakui bahwa konteks budaya masyarakat Indonesia, mempunyai sumbangan besar dalam memperkuat pemahaman negatif terhadap hal-hal yang gaib, sebagaimana dijelaskan dalam bagian awal tulisan ini. Berbagai sisi kehidupan manusia, sulit untuk melepaskan diri dari kepercayaan pada hal-hal yang gaib ini. Masuknya Islam ternyata memberikan warna tersendiri yang memadukan kepercayaan tradisional tersebut. Namun dalam perkembangannya, kepercayaan tradisional ternyata semakin mengokohkan diri, sehingga kekuatan makhluk gaib dianggap punya kekuatan khusus. Kekuasaan Tuhan justru terpinggirkan, sehingga memungkinkan munculnya sikap syirik di masyarakat. Munculnya prilaku tersebut tak lepas dari tekanan media massa (televisi) yang kemudian menjadikan tayangan tersebut sebagai komoditi yang laku dipasarkan. Tak salah apabila kemudian muncul anekdot, syetan sekarang sudah jadi “selebritis”.
Televisi dengan kekuatan audiovisualnya mampu menerobos dinding-dinding rasionalitas manusia. Kepercayaan terhadap hal-hal gaib semakin berkembang menurut warnanya sendiri. Namun perlu diingat, televisi tetaplah sebuah industri, ia terkait dengan faktor modal dan keuntungan. Oleh karenanya, televisi akan selalu mengolah sebuah tayangan menjadi makin dramatis dan emosional, sehingga bisa membuat betah orang di depan televisi. Realitas tersebut sengaja diciptakan, yang terkadang tidak sama lagi dengan realitas yang sebenarnya. Inilah yang kerap dilupakan yaitu adanya konstruksi realitas oleh televisi, kendatipun itu adalah reality show.
Munculnya tayangan mistik di televisi secara berkesinambungan dan terus-menerus dengan berbagai variasi menimbulkan berbagai dampak ke masyarakat. Dampak yang menurut hemat penulis lebih banyak negatifnya, terutama berkaitan dengan aqidah Islamiyah. Satu-persatu bisa kita lihat dari penjelasan berikut ini.
Pertama, cenderung mengarahkan pada prilaku syirik (menyekutukan Allah SWT) karena mengeksploitasi makhluk-makhluk gaib dengan segala penjelmaannya seakan-akan memiliki kekuasaan yang luar biasa. Kekuatan yang bagi sebagian orang dianggap melebihi segalanya.
Kedua, memperlihatkan kekuatan seseorang yang dianggap paranormal dan mendapat kekuatan besar. Dia selalu diposisikan sebagai orang yang sanggup melepaskan suatu ikatan dunia gaib. Pada titik lain diperlihatkan kemampuannya berbicara dengan makhluk gaib yang disebutkan sebagai genderuwo, setan pocong dan sebagainya. Ini menyesatkan, karena Islam menegaskan tidak ada hubungan dengan roh orang yang sudah meninggal, yang ada hanya perilaku syetan dan jin.
Ketiga, pemanggilan makhluk gaib dengan mediasi jelangkung sangat menyesatkan, karena menggiring pemirsa pada pemahaman bahwa roh orang mati bisa dipanggil. Islam tidak mengakui ini, yang mungkin terjadi adalah adanya keterlibatan jin dan syetan, yang membuat seolah-olah orang mati bisa hidup lagi.
Keempat, memperlihatkan adanya ritual-ritual khusus dalam melacak tempat-tempat angker, dengan pembekalan azimat atau isim-isim. Ini jelas prilaku syirik, takhayul yang sangat dilarang oleh Islam. Harus dipahami bahwa kondisi yang muncul adalah karena ulah syetan, bukan roh gentayangan.
Kelima, munculnya dampak-dampak perubahan prilaku, seperti ketakutan ketika berjalan di tempat gelap, takut di rumah sendirian, dan sebagainya. Rasa takut ini adalah wujud dari keyakinan adanya makhluk gaib yang mengganggu, produk dari tayangan di televisi.
Muara dari semua dampak tersebut adalah melunturnya aqidah Islamiyah seorang muslim. Titik perhatian bukan lagi pada kekuasaan Allah SWT, namun dipengaruhi keyakinan adanya kekuatan benda-benda gaib dan tempat-tempat keramat. Musyrik dan syirik, sikap itulah yang dikhawatirkan akan muncul.
Semua karena intensitas tayangan di televisi yang terus menerus dengan inovasi yang terus dilakukan. Di sisi lain, faktor budaya masyarakat sangat mendukung kelanggengan nilai-nilai tersebut. Pembentengan diri dengan aqidah beragama yang kuat bisa menempatkannya dalam wilayah yang proporsional. Sayangnya, karena begitu kuatnya tayangan televisi dan nilai-nilai budaya yang sudah melekat, pemahaman terhadap aqidah Islamiyah menjadi terganggu dan sedikit banyak mulai mengabur. Harus dipahami adalah, realitas yang ditayangkan televisi adalah realitas yang sudah dikonstruksi. Kendatipun itu reality show, namun ada kepentingan pihak televisi untuk menciptakan acara yang betul-betul dramatis dan menyeramkan. Masyarakat penonton disuguhkan tayangan yang memainkan emosi, namun sulit diketahui realitas yang sebenarnya.
Memahami televisi sebagai hasil konstruksi, kemudian ditambah pemahaman bahwa makhluk gaib memang ada sebagai bentuk kebesaran Tuhan, yang diciptakan untuk menyembah kepadaNya, akan menggiring pemikiran kita pada sisi yang proporsial dan wajar dalam melihat makhluk gaib. Mereka tetap dalam dunianya, manusia juga demikian, keduanya bisa berinteraksi, namun tetap dalam kaidah-kaidah yang sudah ditentukan.
Sudah sewajarnya televisi juga melihat sisi ini. Penonjolan tidak hanya sisi dramatis, namun juga kekuasaan Allah SWT dalam menciptakan makhluknya. Tak ada salahnya jika paranormal yang dimunculkan tidak melulu beralasan adanya genderuwo, kuntilanak, hantu pocong, dan sebagainya, namun menggiring pemikiran penonton ke hal yang lebih rasional dengan menekankan bahwa semua itu adalah prilaku syetan. Manusia hanya wajib meyakini adanya makhluk gaib sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an, dan semuanya ciptaan Tuhan. Artinya, kekuasaan Allah SWT adalah segala-galanya.
Kesimpulan
1. Respon masyarakat terhadap penayangan mistik di televisi, sebagian menganggap tayangan tersebut memberikan bukti bahwa dunia gaib itu ada dan tidak perlu ditakuti, tetapi ada yang merespon bahwa tayangan itu tidak mendidik, menciptakan pola pikir mundur ke belakang, percaya pada hal-hal yang irasional.
2. Munculnya tayangan mistik di televisi secara berkesinambungan dan terus-menerus dengan berbagai variasi menimbulkan berbagai dampak negatif ke masyarakat, terutama berkaitan dengan aqidah Islamiyah.
3. Kuatnya tayangan televisi dan nilai-nilai budaya yang sudah melekat, pemahaman terhadap aqidah Islamiyah menjadi terganggu dan sedikit banyak mulai mengabur.
Sumber
Asror, Miftahul. Menyingkap Tabir Dimensi Dunia Lain. Surabaya: Jawara, 2004.
Asy-Syahawi, Majdi Muhammad. Memanggil Roh dan Menaklukkan Jin: Antara Mitos dan Realitas, HT Fuad Wahab. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Lubis, Muchtar. Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggungan Jawab. Jakarta: Idayu, 1977.
McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa. (terj. Agus Dharma). Jakarta: Erlangga, 1987.
Miller, Catherine. Human Communication Theories, Context and Perspectives. Sage Publication: 2003.
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Piliang, Yasraf Amir. Hiperrealitas, Suatu Kajian Terhadap Matinya Makna. Jakarta: Jalasutra, 2003.
Harian Pelita, 23 April 2004
http://azenismail.wordpress.com/2011/04/03/tugas-makalah-agama/
JIKA SOBAT KESULITAN DALAM MENDAPATKAN FILE INI, SOBAT BISA DAPATKAN DENGAN MENGKLIK DI BAWAH INI
0 komentar:
Posting Komentar
MEZA
Bagi sobat yang berkunjung di blogger ini tolong tinggalkan komennya y.......
supaya bisa membagun atau menambah supaya blogger ini lebih baik dari sebelumnya.
MAKASIH