Dalam pendidikan Islam mewajibkan setiap guru untuk senantiasa mengingatkan bahwa kita tidak sekedar membutuhkan ilmu tapi kita senantiasa membutuhkan akhlak yang baik, pendidikan Islam menghendaki kepada setiap guru supaya mengikhtiarkan cara-cara yang baik, pendidikan akhlak, mengutamakan kemauan bekerja, mendidik panca inderanya, mengarahkan pembawaan di waktu kecil ke jalan yang lurus, membiasakan berbuat amal baik dan mengindari setiap kejahatan, oleh karena itu pula seorang guru harus mempunyai sifat-sifat terpuji sebagai dasar untuk mengajar dan mendidik
Sebelum melangkah lebih jauh tentang guru pada masa klasik, perlu dipertegas dahulu batasan masa klasik ini, para penulis barat mengidentikan masa klasik dengan masa kegelapan; sementara para penulis muslim mengidentikannya dengan masa keemasan, maka untuk mempertegas batasan tersebut sesuai dengan pandangan Harun Nasution bahwa periode klasik dimulai pada tahun 650 hingga 1250 M yaitu sejak Islam lahir hingga kehancuran Baghdad.[1]
Metode pendidikan Islam pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu metode perolehan dan metode pemindahan. Metode perolehan lebih ditekankan sebagai cara yang ditempuh oleh peserta didik ketika mengikuti proses pendidikan, sedangkan metode pemindahan diasosiasikan sebagai cara pengajaran yang dilakukan oleh guru. Dengan demikian metode perolehan lebih ditekankan kepada peserta didik sedangkan metode pemindahan dititikberatkan kepada guru, sehingga guru dijadikan faktor penentu untuk menilai tingkat keberhasilan pendidikan Islam. Sebagai konsekwensinya pendidikan Islam klasik lebih banyak memperhatikan guru dari pada murid.
Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal dengan lembaga pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat non formal, di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam nonformal tersebut antara lain :
1. Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar,
2. Pendidikan rendah di istana
3. Kedai-kedai saudagar kitab
4. Rumah-rumah para ulama
5. Majlis atau saloon kesusastraan
6. Badiah (dusun tempat tinggal kaum badawi)
7. Perpustakaan
8. Masjid[2]
Para pemikir Islam banyak memberikan defenisi dan syarat-syarat guru dan murid, baik mengenai hak maupun tentang kewajiban masing-masing, bahkan al-Ghozali menempatkan guru langsung di bawah Nabi Muhammad saw dan mengkhususkannya dengan sifat-sifat kesucian, dalam bukunya Ihya Ulumuddin beliau berpendapat
“Seorang yang berilmu dan kemudian bekerja dengan ilmunya, maka dialah yang dinamakan besar di bawah kolong langit, ia dalai ibarat matahari yang menyinari orang lain dan mencahayai pula dirinya sendiri, ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiripun harum, siapa yang bekerja di bidang pendidikan, maka sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan sangat penting, maka hendaklah ia memelihara adab dan sopan santun dalam tugas ini.[3] Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa tugas guru sama seperti para Nabi, tugas yang paling utama para guru dalai mengajarkan ilmu tauhid.[4]
Secara garis besar penulis menggambarkan kriteria guru pada masa Islam klasik dengan mengambil pendapat para filosof Islam yang hidup antara tahun 650 hingga 1250 M, atau yang biasa disebut masa keemasan Islam hingga runtuhnya Baghdad.
1. Ibnu Sina memberikan konsep guru berkisar tentang guru yang baik, dalam hal ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik harus mempunyai kriteria sebagai berikut : Guru haruslah berakal cerdas, mengetahui cara mendidik akhlak, akap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam, sopan santun, bersih, dan suci dari murni.
Lebih jauh Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat, menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam mendidik anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati. Selain itu guru juga harus lebih mengutamakan kepentingan umat dari pada kepentingan diri sendiri, menjauhkan diri dari orang-orang yang berakhlak rendah, sopan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
Jika diperhatikan secara seksama, Ibnu Sina menggambarkan guru sebagai potret tauladan yang menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar dan juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu seorang guru akan dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkannya, dan dengan akhlak ia akan dapat membina mental danm akhlak anak.[5]
2. Ibnu Miskawih menempatkan guru sejajar dengan Nabi, terutama dalam hal cinta kasih, cinta kasih terhadap pendidik menempati urutan kedua setelah cinta kasih terhadap Allah. Sementara guru yang dimaskud oleh Ibnu Maskawih bukan sekedar guru formal karena jabatan, guru biasa dalai guru yang memiliki persyaratan anatara lain : bisa dipercaya, pandai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat,selain itu ia juga harus menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.[6]
3. Al-Ghozali Menurutnya guru yang dapat diserahi tugas mengajar dalai guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan murid-muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar dan mendidik.
Selain sifat umum di atas Al-Ghozali juga menyebutkan syarat-syarat khusus antara lain :
- Mempunyai sifat kasih sayang
- Tidak boleh meminta upah atas jerih payahnya
- Guru hendaknya berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya
- Guru dalam mengajar hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian dan sebagainya.
- Guru harus tampil sebagai teladan atau panutan di hadapan murid-muridnya.
- Guru harus mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual
- Seorang guru haruslah memahami tabiat dan kejiwaan muridnya
- Seorang guru hendaknya berpegang teguh pada apa yang diucapkannya.[7]
Dari uraian di atas penulis mencoba untuk mengambil kesimpulan bahwa guru pada zaman Islam klasik memegang peranan penting dalam membentuk karakter anak didik, baik akhlak budi pekerti, maupun di bidang penguasaan ilmu pengetahuan. Guru juga mempunyai posisi strategis dan penting serta mempunyai kedudukan mulia bahkan ditempatkan langsung berada di bawah Nabi Muhammad saw.
REFERENSI DAN BAHAN BACAAN
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2000
Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1970
An-Nahlawi, Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Darul Fikri.
Suwendi, M. Ag, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2004.
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992.
[1] Suwendi, M. Ag, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2004, hal6
[2] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, hal, 89
[3] ibid hal. 135
[4] An-Nahlawi, Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Darul Fikri, tt, hal 154
[5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2000, hal 78
[6] ibid hal 18
0 komentar:
Posting Komentar
MEZA
Bagi sobat yang berkunjung di blogger ini tolong tinggalkan komennya y.......
supaya bisa membagun atau menambah supaya blogger ini lebih baik dari sebelumnya.
MAKASIH