wCSUfbj0jCfxbkpQufYnAiiwrifpe8kDKSjPJHFZ

Subscribe:

Ads 468x60px

Senin, 26 Maret 2012

MANUSIA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN IBNU KHALDUN SERTA KEDUDUKANNYA DALAM PENDIDIKAN



Pendahuluan
Manusia merupakan karya Allah swt yang paling istimewa, bila dilihat dari sosok diri, serta beban dan tanggung jawab yang diamanatkan kepadanya. Manusia merupakan satu-satunya mahluk yang perbuatannya mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan yang mampu menjadi sejarah. Selain itu manusia adalah mahluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan. Syarat tersebut menyatakan bahwa manusia sebagai kesatuan jiwa raga dalam hubungan timbal balik dengan dunia dan antar sesamanya.
Di samping itu, ada unsur lain yang membuat dirinya dapat mengatasi pengaruh dunia sekitarnya serta peroblem dirinya, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua unsur ini sebenarnya sudah tampak pada berbagai mahluk lain yang diberi nama jiwa, atau soul, anima dan psyche. Tetapi pada kedua unsur itu, manusia dianugrahi nilai lebih, hingga kualitasnya berada di atas kemampuan yang dimiliki mahluk-mahluk lain. Dengan bekal istimewa ini manusia mampu menopang keselamatan, keamanan, kesejahteraan dan kualitas hidupnya. Selain itu manusia juga merupakan mahluk berperadaban yang mempu membuat sejarah.[1]
Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat. Tak mengherankan jika banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan untuk membahas mahluk yang benama manusia, walaupun demikian persoalan manusia akan tetap menjadi misetri yang tak terselesaikan, selain keterbatasan pengetahuan para ilmuan untuk menjangkau segala aspek yang terdapat dalam diri manusia, dikarenakan juga manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang paling istimewa dan memiliki latar belakang kehidupan yang penuh mengandung rahasia.
Manusia Dalam Perspektif Al-Qur’an
Manusia dalam pandangan Islam adalah mahluk ciptaan Allah dengan kedudukan yang melebihi mahluk ciptaan Allah yang lainnya, selain itu manusia juga dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan berupa fitrah ketauhidan. Dengan fitrah ini manusia diharapkan dapat hidup sesuai dengan hakikat penciptaannya, yaitu selaku pengabdi kepada Allah. Maka dengan kata lain manusia pada hakikatnya merupakan mahluk ciptaan Allah yang terikat pada “blue print” (cetak biru) dalam lakon hidupnya, yaitu menjadi pengabdi Allah yang setia.
Dalam al-Qur’an manusia disebut dengan berbagai nama antara lain :
  1. Al-basyar, dipandang dari pendekatan biologis
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِين ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا ءَاخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Al-Mu’minun 12-14)
  1. Al-Insan berasal dari kata nasia yang berarti lupa, memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang secara fisik dan mental spiritual, seperti berbicara, menguasai ilmu pengetahuan, kemampuan untuk mengenal Tuhan dan mengembangkan sumber daya insaninya.
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ(4)عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-‘Alaq 4,5)
  1. An-Nas, identik dengan fungsi manusia sebagai mahluk sosial.
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(Al-Hujurat 13).
  1. Bani Adam, dalam konteks ini manusia diingatkan Allah agar tidak tergoda oleh setan, sebagaimana Nabi Adam dahulu dikeluarkan dari neraka karena tergoda oleh rayuan setan.
يَابَنِي ءَادَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ ءَايَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ يَابَنِي ءَادَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi `auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (Al-A’raf 26,27)
  1. Al-Ins yang berarti senang, jinak dan harmoni, dalam konteks ini manusia selaku hamba, pengabdi Allah secara konsisten dengan penuh ketaatan di samping jin.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Ad-Dzariyat 56)
  1. Abdullah, dalam konsep ini ternyata peran manusia harus disesuaikan dengan kedudukannya sebagai abdi (hamba), dengan demikian berarti manusia harus tunduk dan taat kepada ketentuan pemiliknya yaitu Allah.
مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Yusuf 40)
  1. Khalifah, dalam konsep ini manusia dibekali ilmu pengetahuan untuk mengemban amanat yang dibebankan Allah untuk mengatur dan memanfaatkan semua potensi yang ada di dunia, dan inilah yang menjadi pembeda dengan mahluk-mahluk ciptaan Allah yang lain.[2]
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” (Al-Baqarah 31)
Manusia Menurut Ibnu Khaldun
Salah satu pendiriannya mengenai manusia untuk dapat mempertahankan eksistensi dan kebudayaan yang lebih tinggi untuk masa mendatang, adalah pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas (human resources). Sumber daya manusia yang berkualitas menurut Ibnu Khaldun terdiri dari akal pikir, keterampilan, ta’awun, kewibawaan dan kedaulatan.
Menurut Ibnu Khaldun, Allah menciptakan mnusia dan menyusunnya menurut satu bentuk hanya dapat tumbuh dan mempertahankan hidupnya dengan bantuan makanan. Tuhan memberi petunjuk kepada manusia atas keperluan makan menurut watak dan memberi kepadanya kodrat kesanggupan untuk memperoleh makanan itu.
Untuk memperoleh makanan itu, dibutuhkan alat untuk dapat membuat dan memprosesnya, sesuai dengan ktrampilannya. Di samping itu dibutuhkan hubungan kerja sama yang baik (ta’awun) sebagai syarat untuk memperoleh kebutuhan yang lebih banyak.
Untuk mempertahankan manusia dari serangan Allah memberi kesanggupan berfikir dan tangan bekerja sebagai keahlian. Keahlian ini menghasilkan alat untuk mempertahankan diri, misalnya pedang, lembing dan lain sebagainya. Untuk lebih mengefektifkan pertahanan manusia, tentu menyusun suatu kerja sama yang baik, yang disebut organisasi masyarakat. Tanpa organisasi ini eksistensi manusia tidak akan sempurna. Keinginan Tuhan hendak memakmurkan dunia dengan mahluk yang bernama manusia dan menjadikannya khalifah di permukaan bumi ini tentulah tidak akan terwujud.
Kedaulatan, kewibawaan, ta’awun, keterampilan dan pikiran adalah merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap manusia untuk mempertahankan eksistensinya, di dalam masyarakat yang terus berubah, maju dan berkembang.
Dengan kesanggupan manusia untuk berfikir yang membedakan manusia dengan binatang lainnya, kecakapan memperoleh penghidupan dalam kehidupan bersama dan kemampuannya mempelajari Tuhan yang disembahnya serta wahyu-wahyu yang diterima para Rasul-Nya, sehingga semua binatang tunduk dan berada dalam kekuasaannya. Melalui kesanggupan untuk perfikir itulah Tuhan mengaruniai manusia keunggulan di atas semua mahluk ciptaannya.
Tingkatan berfikir manusia menurut Ibnu Khaldun membawa manusia kepada suatu realitas sebagai manusia seutuhnya (al-haqoqotul insaniyah). Berfikir ialah penjamahan bayang-bayang di balik perasaan dan aplikasi akal di dalamnya untuk membuat analisis dan sistesis[3]. Firman Allah dalam surat al-An’am ayat 113 yang artinya “Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan.[4] Arti kata af’idah merupakan kecenderungan dengan menjadikan pendengaran, penglihatan dan akal, inilah yang dimaksudkan dengan pikiran.
Pikir Menurut Ibnu Khaldun
Menurut Ibnu Khaldun kesanggupan berfikir dibagi dalam tiga tingkatan yaitu:
1.      Pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang berada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tata yang berubah-ubah, dengan maksud suapa ia dapat mengadakan seleksi dengan kemampuannya sendiri. Bentuk pemikiran semacam ini kebanyakan merupakan persepsi-persepsi. Dan ini disebut dengan akal pembeda (al-aql at-tamyizi) yang membantu manusia untuk memperoleh segala sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, memperoleh penghidupannya, dan menolak segala yang sia-sia bagi dirinya.
2.      Pikiran yang melengkapi manusia dengan ide-ide dan prilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang bawahannya dan mengatur mereka. Pemikiran semacam ini berupa apresiasi-apresiasi yang ducapai satu demi satu melalui pengalaman hingga benar-benar dirasakan manfaatnya, dan inilah yang disebut akal eksperimental atau (al-aql at-tajribi).
3.      Pikiran yang melengkapi manusia dengan pengetahuan (‘ilm) atau pengetahuan hipotesis (dzan) mengenai sesuatu yang berbeda di belakang persepsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. Inilah akal spekulatif (al-‘aql an-nadzari). Ia merupakan persepsi dan apresiasi dari tasawwur dan tasdiq.
Dengan memikirkan hal-hal ini, manusia mencapai kesempurnaannya dalam realitasnya dan menjadi intelek murni dan memiliki jiwa perseptif. Inilah makna realitas manusia (al-haququ al-insaniyah).[5]
Dalam konsep Ibnu Khaldun tentang manusia tampaknya ia tidak jelas membedakan antara akal dan pikir. Akal adalah merupakan tingkat kemampuan berpikir manusia sampai pada tingkatan al-haququ al-insaniyah. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai perbedaan akal dan pikiran, berikut akan dikemukakan beberapa pendapat mengenai akal dan pikiran.
1.      Menurut Gazalba akal adalah tenaga yang menahan diri mahluk yang memilikinya dari pada perbuatan buruk atau jahat, membedakannya dari mahluk lain, karena tenaga akal itu dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Akal dinamakan sebagai alat untuk berfikir, menimbang buruk, baik atau merasakan segala perubahan keadaan, sehingga dapat mengambil manfaat dari padanya. Akal terdiri dari dua unsur yaitu budi (pikir) dan rasa. Pikir mempunyai kemampuan yang terbatas, dan tidak mampu memikirkan yang sifatnya abstrak. Rasa adalah yang menentukan atau menimbang baik dan buruk, serta mengkaji dan menerima sesuatu yang abstrak atau yang gaib.
2.      Menurut at-Taomy as-Saybani akal adalah kemampuan manusia untuk menangkap rahasia alam semesta serta awal dan akhir alam semesta. Akal membawa manusia kepada iman, beriman suatu kepastian dan memberikan interpretasi tentang peraturan yang harmonis yang dapat disaksikan dalam alam jagad. Akal telah diberikan kedudukan yang tinggi, sehingga para mujtahid menjadikan maslahah sebagai asas perundangan dan akal sebagai penentu untuk menetapkan masalah.
3.         Bailes dan Rajah menggambarkan manusia sebagai tiga dimensi, dalam tiga bentuk lingkaran, mempunyai titik pusat yang sama. Lingkaran pusat adalah roh, lingkaran kedua adalah terletak di antara pertama dan kedua, pikir objektif dan subjektif (akal), lingkaran ketiga yang sebelah luar badan atau fisik. Jika dibuatkan gambarnya adalah sebagai berikut :


Lingkaran I           : adalah ruh, bersifat ghaib.
II         : adalah pikir objektif dan subjektif, atau akal penghubung
antara satu dan dua.
III        : adalah jasad, fisik.
Pengertian akal menurut F. W. Bailes adalah pikir dan rasa kerja sama serta jalinan kerja budi dan kalbu. Apabila kalbu dan pikir bekerja sendiri-sendiri hasilnya akan berat sebelah. Hanya dengan aktivitas akallah akan tercapai hasil penuturan (reasoning) yang maksimal, karena dapat dipertimbangkan dua tenaga rohaniah yang menjadi manusia mahluk tertinggi di antara mahluk yang ada.[6]
Referensi
Holy Qur’an 6.5 plus, versi Indonesia 30 juz
Jalaluddin, Prof, Dr, Teologi Pendidikan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Thoha, Zhabib, Drs., H.M., Syukur Nc, F, Drs., Priyono, S. Pd, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996
Zuhairini, Dra., dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, 1995
[1] Prof. Dr. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 13
[2] idid, 19-30
[3] ibid, hal. 117-118
[4] Holy Qur’an 6.5 plus, versi Indonesia 30 juz
[5] Drs. H.M. Zhabib Thoha, Drs. F. Syukur Nc, Priyono, S. Pd, hal. 119 – 120
[6] ibid, hal. 121-122


 M'F JIKA ANDA KESULITAN MENDAPATKAN FILE INI ANDA BISA DOWNLOAD DI SINI




2 komentar:

  1. Nice share gan, lanjutkan postingan yg kaya gini nya, ane butuh untuk bhan bhan kuliah gan, thanks ya

    BalasHapus
  2. insyaallah akn sy teruskan,maksh sarannya

    BalasHapus

MEZA
Bagi sobat yang berkunjung di blogger ini tolong tinggalkan komennya y.......
supaya bisa membagun atau menambah supaya blogger ini lebih baik dari sebelumnya.
MAKASIH

adf.ly

http://adf.ly/?id=1499578