wCSUfbj0jCfxbkpQufYnAiiwrifpe8kDKSjPJHFZ

Subscribe:

Ads 468x60px

Rabu, 21 Maret 2012

TAFSIR SUFI




MAKALAH

Diajukan dalam diskusi kelas dalam mata kuliah Studi Al – Qur’an yang dibina
oleh : Dr. H. Aminullah, M.Ag
            Dr. Hamid Pujiono. M.Ag.



 




Oleh :


IDA RAHMAWATI
NIM : 084 911 0150




PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
DESEMBER 2011
I.                    PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah perkembangan tafsir, pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat sedikit dan terikat oleh kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh suatu kosa-kata. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, seiring dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat maka muncul berbagai kitab atau penafsiran al-Qur’an yang beraneka ragam coraknya, yang merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman dan penengetahuan, karena dalam al-Qur’an sendiri memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak terbatas.
Adanya corak-corak penafsiran yang beragam adalah sebagai bukti akan kebebasan penafsiran al-Qur’an. Corak-corak tafsir yang ada atau dikenal selama ini adalah corak bahasa, corak filasafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih, tasawuf dan corak sastra budaya dan kemasyarakatan dan yang lainnya.
Untuk itu dalam makalah ini, penulis akan mengangkat sekilas tentang masalah tafsir perspektif orang golongan ahli sufi atau aliran tasawuf
Perkembangan sufisme yang kian marak di dunia Islam ditandai oleh praktik-praktik asketisme dan askapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam. Hal ini dimulai sejak munculnya konflik politis sepeninggal nabi Muhammad SAW.
Praktik seperti terus berkembang pada masa berikutnya. Seiring berkembangnya aliran sufi. Merekapun menafsirkan alqur’an sesuai dengan faham sufi yang mereka anut. Pada umumnya kaum sufi memahami ayat-ayat alqur’an bukan sekedar dari lahir yang tersurat saja. Namun mereka memahaminya secara bathin atau yang tersirat.

II.                 PEMBAHASAN


A. Pengertian Tafsir Sufi

Kata sufi ini mempunya banyak pengertian salah satunya ialah bahwa suf (صوف) berasal dari madzi dan mudlari’ صاف يصوف yang mempunyai arti tenunan dari bulu domba (wol), merujuk pada jubah yang dikenakan oleh orang muslim yang bergaya hidup sederhana. Namun, tidak semua orang sufi memakai jubah atau pakaian dari wol.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kata sufi berasala dari madzi dan mudlari’ صفا يصفو yang mempunyai arti jirnih, bersih. Hal ini menaruh penekanan pada memurnian hati dan jiwa. Dapat diambil kesimpulan dari dua pengertian di atas bahwa seorang sufi atau sufisme yaitu orang yang hidup sederhana, menjahui urusan dunia (zuhud) dan memurnikan hati hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Gerakan kaum sufi juga dikenal dengan tasawuf.

Jadi yang dimaksud dengan tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi (Al-Zarqani, 1986:117). Sesuai dengan pembagian dalam dunia tasawwuf tafsir ini juga dibagi menjadi dua yaitu tafsir yang sejalan dengan tashawwuf an Nazhari disebut Tafsir al Shufi al Nazhri, dan yang sejalan dengan tashawwuf amali disebut tafsir al faidhi atau tafsur al isyari.

Tafsir sufi yang lahir sebagai akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi telah mempunyai ciri khusus atau karakter yang membedakannya dari tafsir lainnya. Tafsir sufi ini telah didominasi paham sufi yang dianut oleh mufassirnya karena memang tasawuf telah menjadi minat dasar bagi mufassir, sebelumnya dia melakukan usaha penafsiran atau juga bahwa penafsirannya itu hanya untuk legitimasi atas pendapatnya dalam hal ini adalah paham tasawuf.
 

B.  Sejarah lahirnya Tafsir Shufi
Para sufi umumnya berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
لِكُلِّ ايَةٍ ظَهْرٌ وَبَطْنٌ وَلِكُلِّ حَرْفٍ حَدٌّ وَلِكُلِّ حَدٍّ مَطْلَعٌ
“Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk melihatnya.”

Hadits di atas, adalah merupakan dalil yang digunakan para sufi untuk menjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka di balik makna zahir, dalam redaksi teks Al-Qur’an tersimpan makna batin. Mereka menganggap penting makna batin ini. Nashiruddin Khasru misalnya, mengibaratkan makna zahir seperti badan, sedang makna batin seperti ruh; badan tanpa ruh adalah substansi yang mati (Al-Suyuti, 1951:104) Tidak heran bila para sufi berupaya mengungkap makna-makna batin dalam teks Al-Qur’an.
Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah unsur asing (Gharib), melainkan sesuatu yang inheren dengan Al-Qur’an. Tafsir sufi menjadi eksentrik karena hanya bisa ditolak atau diterima, tanpa bisa dipertanyakan. Tafsir tersebut tidak bisa menjawab dua pertanyaan; mengapa dan bagaimana? Misalnya, ketika al-Ghazali menafsirkan potongan ayat (QS:20;12) ( فَاخْلَعْ نَعْلَيْلَكَ ) yang secara zahir “tinggalkanlah (Wahai Musa) kedua sandalmu”. Menurut al-Ghazali makna batin dari ayat ini adalah “Tanggalkan (Hai Musa) kedua alammu, baik alam dunia mupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan jangan pula mencari pahala ukhrawi, tai carilah wajah Allah semata”.3 Kita boleh setuju atau tidak dengan penafsiran seperti ini. Tapi kita tidak akan memperoleh penjelasan yang memadai tentang mengapa penafsirannya seperti ini? Dan bagaimana al-Ghazali bisa sampai pada penafsiran yang seperti ini? Kita hanya bisa menerima atau menolaknya, tanpa bisa mempertanyakan penalaran di balik penafsiran tersebut.
Tidak ada penalaran yang jelas yang menghubungkan antara nash Al-Qur’an dengan tafsir batin yang dikemukakan oleh para sufi kecuali para sufi iut melihat nash Al-Qur’an sebagai isyarat bagi makna batin tertentu. Karena itu, tafsir sufi juga sering disebut dengan tafsir isyari (Al-Zarqani, 1986:129)., yang pengertiannya menurut versi Al-Zarqani adalah “menafsirkan Al-Qur’an tidak dengan makna zahir, melainkan dengan makna batin, karena ada isyarat yang tersembunyi yang terlihat oeh para sufi. Namun demikian tafsir batin tersebut masih dapat dikompromikan dengan makna zahirnya.
Jadi, isyarat-isyarat Al-Qur’anlah yang direnungkan oleh para sufi, sehingga mereka sampai pada makna batin Al-Qur’an. Dan di sinilah letak masalahnya, karena isyarat sangat rentan untuk disalah tafsirkan atau disalahgunakan. Misalnya, penyalahgunaan yang dilakukan oleh kaum Bathiniyah Al-Taftazani, (Abu Al-Wafa Al-Ghanami, 1997:207). Dengan dalih bahwa di balik makna zahir Al-Qur’an tersimpan makna batin, mereka mengembangkan tafsir batin yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran mereka sendiri. Misalnya saja ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99 (QS.15:99)
ôç6ôã$#ur  y7­/u 4Ó®Lym y7uÏ?ù'tƒ ÚúüÉ)uø9$# ÇÒÒÈ    
Menurut pendapat jumhur, ayat itu berarti “sembahlah Tuhanmu sampai ajal tiba”. Namun kaum Bathiniyah mengembangkan penafsiran sendiri. Menurut mereka makna ayat itu adalah “barangsiapa telah mengerti makna ibadah, maka gugurlah kewajiban bagnya” (Faudah, 1987:217).
Jelas bias kesektariannya sangatlah kental dalam tafsir kaum bathiniyah. Dan para sufi mencela penafsiran seperti itu. Walaupun mereka juga menggali tafsir batin Al-Qur’an, namun para sufi merasa bahwa tafsir mereka tidaklah sama dengan tafsir kaum Bathiniyah; Pertama karena penafsiran mereka diperoleh mengalau kasyaf (Solihin, 2003:173).  Kedua, karena mereka tidak mengabaikan makna zahir Al-Qur’an sebagaimana yang dilakukan kaum Bathiniyah. Namun demikian, apakah betul karena itu, yakni karena berbeda dengan kaum Bathiniyah, sehingga tafsir sufi steril dari bias sectarian? Masalah ini perlu dielaborasi lebih lanjut.




B. Karakter Tafsir Sufi
Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik kepentingan politis semenjak ditinggal Nabi. Dismping perkatik semacam ini terus berlanjut tumbuh dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya.Itualah mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabah, ma’rifah, hulul dan wahdatul wujud.
Dengan demikian berkembanglah dua sayap sufisme dalam dunia Islam yaitu para praktisi yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah dan para teosof yang lebih memintingkan teori-teori mistis. Kedua model sufisme ini pada gilirannya membawa dampak tersendiri dalam dunia penafsiran sufistik ini yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir sufi nadhari dan tafsir sufi isyari.

1. Tafsir Sufi Nadhari
Tafsir sufi nadhari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Az-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nadhari dalam praktiknya adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memeperhatikan segi bahasa serta apa yang dimaksudkan oleh syara.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir tasawuf teoritis (nadhari) yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai ulama tafsir sufi nadhari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush. Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Dalil al-Qur’an tentang paham ini diantaranya.



A. Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186:
#sŒÎ)ur y7s9r'y ÏŠ$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=ƒÌs% ( Ü=Å_é& nouqôãyŠ Æí#¤$!$# #sŒÎ) Èb$tãyŠ ( (#qç6ÉftGó¡uŠù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 šcrßä©ötƒ ÇÊÑÏÈ  
Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi golongan ini adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.

B.Surat Al-Baqarah 115:       
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ  
Artinya: “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ wajah Allah.
Kaum sufi menafsirkannya dengan di mana saja Tuhan ada, dan dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.

C. Surat Qaf ayat 16:
            ôs)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqóuqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmøs9Î) ô`ÏB È@ö7ym σÍuqø9$# ÇÊÏÈ  
Artinya: “ Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”,

Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan orang tak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Dengan perkataan lain bahwa Tuhan bukan berada di luar diri manusia, tetapi Tuhan berada di dalam diri manusia. Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh paham wahdat al-wujud yang merupakan teori atau paham terpenting dalam tasawufnya dan seolah-olah penafsirannya itu dijadikan legitimsi atas pahamnya. az-Zahabi berpendapat bahwa Ibn al-‘Arabi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an telah keluar dari madlul ayat yang dimaksudkan oleh Allah. Dari pendapatnya itu, az-Zahabi kelihatan tidak setuju atas penafsiran Ibn al-‘Arabi yang telah keluar dari maksud dilalah ayat.
Sementara itu az-Zahabi juga menjelaskan karekteristik atau ciri-ciri dalam penafsiran nadhari yang dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama, dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tafsir nadhari sangat besar dipengaruhi oleh filsafat. Az-Zahabi memberikan contoh tafsir nadhari yang dipengaruhi filasafat yaitu penafsiran Ibn al’Arabi terhadap ayat 57 dari surat Maryam :
çm»oY÷èsùuur $ºR%s3tB $Î=tæ ÇÎÐÈ  
Artinya: “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”.

 Menurut az-Zahabi penafsiran Ibn al-’Arabi tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filasafat alam yaitu dengan menafsirkan lafazh makanan ‘aliyyan dengan antariksa (alam bintang).
Kedua, di dalam tafsir nadhari, hal-hal yang gaib dibawa ke dalam sesuatu yang nyata atau tampak dengan perkataan lain meng-qiyas-kan yang gaib pada nyataan.
 Ketiga, terkadang tidak memperhatikan kaidah-kaidah nahwu dan hanya menafsirkan apa yang sejalan dengan ruh dan jiwa sang mufassir.
Kelihatannya apa yang ditulis al-Syatibi mengenai tafsir nadhari adalah hanya berdasarkan pada penafsiran takwil yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Dan menurut hemat penulis tafsir nadhari pada hakikatnya adalah tafsir isyari yang secara umum dipakai oleh kaum sufi. Tetapi tafsir nadhari ini dalam praktiknya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang ada dan hasilnya sangat jauh dari apa yang dimaksudkan ayat secara zhahir.

2. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna lahir (zhahir) dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Seorang ulama sufi Nasiruddin Khasr mengatakan bahwa penafsiran nash al-Qur’an yang hanya melihat zhahir-nya, hanya merupakan badan atau pakaian akidah sehingga diperlukan tafsir atau penafsiran yang dalam dengan menelusuri di balik makna lahir tersebut dan itu adalah ruhnya, sehingga bagaimana mungkin badan bisa hidup tanpa ruh. Dan begitu, bukan berarti ulama tasawuf menolak makna lahir, mereka tetap menerima makna lahir dan menelusuri makna batin untuk mengetahui hikmah-hikmah yang ada di balik makna lahir tersebut. Imam al-Gazali seorang ulama tasawuf, beliau tidak menolak secara mutlak apa yang ada dari makna lahir. Untuk bisa memahami makna batin tidak bisa dilakukan oleh akal atau ra’yi, sehingga beliau sangat menolak yang namanya tafsir dengan ra’yi (akal).
Metode yang dipakai dalam tafsir tasawuf secara umum adalah metode isyarat (Isyarah). Isyarat di sini maksudnya adalah menyingkap apa yang ada di dalam makna lahir suatu ayat untuk mengetahui hikmah-hikmahnya. Mereka menggunakan kata “Isyarat” adalah untuk membedakannya dari ta’wil yang selalu dinisbatkan kepada tujuan buruk. Padahal metode isyarah yang digunakan oleh mereka dalam praktiknya lebih banyak sama dengan takwil. Para ulama sufi juga berpendapat bahwa hasil penafsiran mereka terhadap al-Qur’an tidak disebut sebagai tafsir, karena hal itu sama saja dengan membatasi makna al-Qur’an dengan cara pemaknaan dan penafsiran, dan mereka lebih menyebutnya dengan “isyarah”.
Lahir-Batin merupakan konsep yang dipergunakan oleh kaum sufi untuk melandasi pemikirannya dalam menafsirkan al-Qur’an khusunya dan melihat dunia pada umumnya. Pola sistem berpikir mereka adalah berangkat dari yang zhahir menuju yang batin. Bagi mereka batin adalah sumber pengetahuan sedangkan zhahir (teks) adalah penyinar. Al-Gazali sendiri menegaskan bahwa selain yang zahir, al-Qur’an memiliki makna batin. Abdullah (Al-Muhasibi) memberikan penjelasan pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksud dengan yang zahir adalah bacaannya, dan yang batin adalah takwilnya. Sementara Abu Abdurrahman mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zhahir adalah bacaanya sementara yang batin adalah pemahamannya.
Baik makna zhahir ataupun makna batin pada al-Qur’an adalah dari Allah. Lahir adalah turunnya (tanzil) al-Quran dari Allah kepada para nabi dengan bahasa umatnya, sedangkan batin adalah adanya pemahaman di hati sebagian orang mukmin (hati al-arifin), yang berasal dari Allah. Oleh karena itu dulisme lahir-batin dalam wacana Al-Qur’an, pemahaman dan penakwilannya tidak dikembalikan kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab Allah menjadikan segala sesuatu (makhluk) memiliki dimensi zhahir dan batin (dan al-Qur’an termasuk makhluk). Yang zhahir adalah bentuk yang bisa diindera (al-Shurah al-Hissiyah) dan yang batin adalah al-Ruh al-Ma’nawi.
Semua tafsir isyari tidak bisa begitu saja diterima tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tidak boleh ditinggalkan oleh mufsir. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

Penafsiran Isyari tidak boleh menafikan apa yang dimaksudkan makna zhahir.

1. Harus ada nas lain yang menguatkannya.
2. Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal.
3. Harus diawali dengan penafsiran terhadap makna lahir, dan memungkinkan adanya makna lain selain makan zhahir.

Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr ayat 1 yang bunyinya:  
#sŒÎ) uä!$y_ ãóÁtR «!$# ßx÷Gxÿø9$#ur ÇÊÈ  
Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan” (QS. Al-Nasr:1)
di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw. Contoh lainnya adalah ayat tiga dari surat al-Maidah yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang terakhir diturunkan. ‘Umar ibn al-Khatab ketika mendengar ayat tersebut beliau menangis tidak seperti sahabat yang lain yang ketika mendengar ayat ini sangat gembira. Dalam sebuah riwayat Ibnu Abi Syaibah menyatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan ‘Umar ibn al-Khatab menangis, lantas Nabi bertanya: “apa yang kamu tangisi (‘Umar)” ? “saya menangisi bahwa sesungguhnya kita telah bertambah dalam agama kita, maka ada tidak sesuatu yang sempurna lagi kecuali tambah berkurang”Az-Zahabi memeberikan penjelasan mengenai perbedaan antara tafsir sufi nadzari dengan tafsir sufi isyari sebagai berikut :

1)      Tafsir sufi nadzari dibangun atas dasar pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi yang kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawufnya. Adapun tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan ilmu sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yang mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyarat-isyarat al-Qur’an.

2)      Dalam tafsir sufi nadzari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna lain yang di balik ayat. Adapun dalam tafsir sufi isyari asumsi dasarnya bahwa ayat-ayat al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada di balik makna lahir. Dengan perkataan lain bahwa al-Qur’an terdiri dari makna zahir dan batin.

Dalam sejarah tasawuf, pada sekitar abad keempat telah terjadi pergulatan yang tajam antara ahli hakikat yang diperankan oleh para ahli tasawuf dan ahli syariah yang dimainkan oleh para fuqaha. Tetapi setelah itu al-Ghazali berusaha menyatukan kembali antara keduanya dengan menulis berbagai kitab, terutama yang terkenal diantara kitabnya adalah Ihya ‘Ulumuddin. Al-Ghazali sebagai seorang yang dulunya filosof berpendapat bahwa dalam Islam antara syariah dan hakikat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa mengambil salah satu dari keduanya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat fiqh, mereka juga menggunakan pendekatan isyarat. Ayat-ayat tentang perintah seperti shalat, zakat dan yang lainnya, tetap diterima sebagaimana para ahli fuqaha tetapi yang berbeda adalah bahwa para ahli tasawuf tidak hanya sebatas mengetahui hal itu wajib atau tidak tetapi menelusuri apa yang yang ada dibalik isyarat tersebut untuk menegtahui hikamah-hikmahnya. Dan hal ini tidak bisa dilakukan oleh para fuqaha.
Contoh-contoh penafsiran ulama tasawuf tentang ayat-ayat syariah atau fiqh di antaranya: Ayat-ayat tentang kewajiban menutupi aurat. Ibn al-‘Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyat sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher menafsirkannya sebagai berikut. Beliau mengatakan bahwa secara syariah menutup aurat adalah merupakan kewajiban, adapun makna batin dari syariah ini adalah wajib bagi setiap orang berakal untuk menutupi rahasia Tuhan, dan apabila membukakan rahasia Tuhan, dia bukan termasuk orang yang berakal dan berilmu.
Dari contoh-contoh di atas, terlihat jelas bahwa ulama tasawuf tidak menolak syariah. Mereka tetap berpegang pada syariah dan hakikat. Terhadap orang-orang yang lebih mementingkan syariah, al-Gazali sangat kecewa, karena mereka hanya memahami syariah (Islam) secara lahirnya saja tidak bisa menelusuri isyarat-isyarat yang ada di balik perintah syariat dan hikmah-hikmahnya. Para ahli tasawuf yang tetap menjalankan syariat-syariat Islam mereka adalah tasawuf Islamy. Dikatakan tasawuf Islamy karena ada di antara para sufi yang dalam praktiknya hanya mementingkan hakikat tanpa meperhatikan syariat. Karena di dalam Islam syariat dan hakikat adalah seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan.

C. Sekilas tentang Sufisme
Untuk dapat mengetahui serta mengelaborasi corak serta bias sectarian dalam tafsir sufi. Perlu kiranya dipaparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang sufisme. Karena, tafsir sufi pada dasarnya adalah tafsir yang dikemukakan oleh para sufi, dan para sufi menjadi sufi karena sufisme. Sufisme atau tasawuf adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan tentang bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhannya. Intisari dari Sufisme adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Allah SWT dengan mengasingkan diri dan berkontempelasi. Sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan dengan Tuhan, sehingga seseorang sadar betul baha ia berada di hadirat Tuhan (Solihin, 2003:79).
Ada banyak variasi cara dan jalan yang diperkenalkan para ahli sufisme untuk memperoleh tujuan tersebut. Mereka menyebutnya dengan istilah maqamat, yaitu stasiun-stasiun yang harus dijalani para sufi untuk sampai ke tujuan mereka. Dari sekian banyak versi maqamat, yang biasa disebut ialah: tobat-zuhud-sabar-tawakkal-ridha. Kelima stasiun itu harus ditempuh secara bertahap. Untuk berpindah dari satu stasiun ke stasiun berikutnya diperlukan waktu dan usaha yang tidak sedikit. Terkadang seorang sufi harus menyelami satu stasiun selama bertahan-tahun sebelum akhirnya ia merasa mantap dan dapat berpindah ke stasiun berikutnya.
Mengenai bentuk hubungan dengan Allah SWT, yang menjadi tujuan para sufi, ada dua buah pendapat utama; monoisme dan dualisme. Para penganut aliran monoisme berpendapat baha tahap puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat manunggal/ monolitik, hubungan ini dapat mengambil bentuk hulul, ittihad atau wihdat al-wujud (Al-Taftazani, 1997:107) Para penganut aliran dualisme berpendapat bahwa hubungan seorang sufi dengan Tuhan bersifat dulistik. Seorang sufi bisa jadi akan sangat dekat dengan Tuhan, sehingga tidak ada lagi dinding pemisah antara dia dengan Tuhan, namun dia tetaplah dia dan Tuhan tetaplah Tuhan. Bagi aliran dualisme, puncak hubungan seorang sufi dengan Tuhannya adalah al-Qurb (kedekatan).
Untuk menguraikan jalan dan tujuan sufisme ini, para ahli tasawwuf menempuh dua jalan yang berbeda. Ada yang menggunakan Al-Qur’an dan al-Hadits, dan ada pula yang menggunakan filsafat. Penganut aliran dualisme umumnya menggunakan yang pertama, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf sunni. Sedangkan penganut aliran monoisme umumnya menggunakan yang kedua, karena itu aliran ini biasanya disebut tasawwuf filosofi (Nasution,
1999:215).
Mahmud Basuni Faudah, menyebut kedua macam aliran tasawwuf tersebut dengan isitilah tasawwuf teoritis dan tasawwuf praktis. Tasawwuf teoritis adalah tasawwuf yang didasarkan pada pengamatan, pembahasan dan pengkajian, dan karena itu mereka menggunakan filsafat sebagai saranya. Sedangkan tasawwuf praktis adalah tasawwuf yang didasarkan pada kezuhudan dan asktisme, yakni banyak berzikir dan latihan-latihan keruhanian. Menurut Faudah, para penganut kedua aliran ini mendekati Al-Qur’an dengan cara yang berbeda. Karena itu, produk penafsirannya pun relative berbeda. Ia membedakan keduanya dengan istilah tafsir sufi nazhari dan tafsir dan tafsir sufi isyari. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi teoritis seperti Ibn ‘Arabi. Sedangkan tafsir sufi Isyari adalah produk sufi praktis seperti Imam al-Naysaburi, al-Tustari, dan Abu Abdurrahman al-Sulami (Al-Taftazani, 1997:119).
Sangatlah menarik untuk membandingkan lebih jauh tentang sufi Nazhari dengan tafsir sufi Isyari ini. Hal ini, mengingat masing-masing memiliki karakter tersendiri. Tafsir sufi Nazhari adalah produk sufi nota bene membangun ajaran sufisme di atas landasan filsafat. Karena itu, sangatlah mungkin ada bias filsafat di dalam tafsir aliran tersebut. Sedangkan tafsir sufi isyari adalah produk para sufi menganut teologi Asy’ariyah, (Thabathaba’i, 1993:201) sehingga besar kemungkinan ada bias Asy’ariyah di dalam tafsir tersebut. Dan sebagaimana yang akan ditunjukkan oleh makalah ini, asumsi-asumsi tersebut terbukti benar.

D. Bias Filsafat Dalam Tafsir Sufi Nazrani
Upaya untuk menemukn bias filsafat dalam tafsir sufi Nazhari, telah dilakukan oleh Mahmud Basuni Faudah. Ia berhasil menunjukkan beberapa penafsiran Ibn ‘arabi yang menjadi bukti bahwa tafsir batin yang dikemukakannya mengandung bias filsafat. Ibn ‘arabi sendiri adalah seorang sufi yang sangat terpengaruh oleh pandangan wihdah al-wujud dan filsafat emanasi.
Bias filsafat terlihat ketika Ibn ‘Arabi menafsirkan surat Maryam ayat 57 :  çm»oY÷èsùuur yang secara zahir berarti: “Dan Kami angkat martabatnya  $ºR%s3tB $Î=tæ ÇÎÐÈ 
(Idris a.s.) ke tempat yang tinggi”. Menurut Ibnu ‘Arabi, tempat yang tinggi adalah tempat beredarnya ruh, alam, dan falak-falak (benda-benda langit) yaitu falak matahari. Disitulah kedudukan ruhani nabi Idris a.s. Di baahnya terdapat tujuh falak dan di atasnya juga tujuh falak. Tujuh falak yang ada di atas falak Idris as.
Adalah tempatnya umat Muhammad saw. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh filsafat emanasi yang mengajarkan bahwa alam ini terjadi dari pancaran akal pertama yang kemudian membentuk falak-falak yang bertingkat-tingkat (Faudah, 1987:85).
Bias faham wihdah al-wujud terlihat ketika Ibn ‘arabi menafsirkan surat al-
Nisa ayat 1 (QS.4:1)
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur ..... ÇÊÈ
Secara sahir, ayat tersebut berarti “Wahai sekalian manusia bertaqwalah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri (jenis)”. Ibn ‘Arabi menafsirkan ayat ini dengan penafsiran sebagai berikut: “Bertaqwalah kepada Tuhanmu. Jadikanlah bagian yang zhahir dari dirimu sebagai penjaga bagi Tuhanmu. Dan jadikanlah bagian batinmu yang adalah Tuhanmu itu, sebagai penjaga bagi dirimu. Karena perkaranya adalah perkara celaan dan pujian. Maka jadilah kalian pemelihara-Nya dalam celaan, dan jadikanlah Dia pemelihara kalian dalam pujian, niscaya kalian akan menjadi orang-orang yang paling beradan di seluruh alam”. Penafsiran seperti ini jelas dipengaruhi oleh faham wihdah al-wujud yang memandang alam ini sebagai pengejawantahan (ego apresiasi) dari ego potensial yang merupakan Dzat Tuhan yang hakiki.

E. Bias Asyhariyah Dalam Tafsir Sufi Isyari
Di samping pengaruh-pengaruh di atas, dalam kitab-kitab tafsir sufi Isyari, bias sectarian juga nampak terlihat. Tafsir-tafsir tersebut umumnya membela teologi Asy’ariyah. Muhammad Husayn al-Zahabi misalnya, menyebutkan secara gamblang dalam bukunya, al-Tafsir wa al-Mufasirun, bahwa al-Naysaburi ketika menafsirkan Al-Qur’an, banyak menceburkan diri dalam perdebatan teologi sebagai pembela Asy’ariyah. Al-Zahabi mencontohkan penafsiran al-Naysaburi atas surat al-An’am ayat 25 (QS. 6:25) yaitu :
( $uZù=yèy_ur 4n?tã öNÍkÍ5qè=è% ºp¨ZÏ.r& br& çnqßgs)øÿtƒ  ÇËÎÈ  
Ayat tersebut artinya: “Dan Kami jadikan atas hati mereka penutup untuk memahaminya”. Menurut al-Nasaburi, ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memalingkan iman dan menengahi antara seorang hamba dengan hatinya. Kaum Mu’tazlah berupaya memalingkan ayat ini dari makaha zaharnya, karena tidak sesuai dengan akidah mereka. Lalu al-Naysaburi memaparkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah. Setelah itu, ia mematahkan satu persatu, sambil membela kaum Asy’ariyah (Al-Surbasi, 1988:174).
Contoh lain, dapat dikemukakan dalam tafsir Ruh al-Ma’ani, karya al-alusi. Al-alusi menolak pendapat Mu’tazilah dan mempertahankan Asy’ariyah, ketika ia
menafsirkan surat al Kahfi ayat 29 QS. 18:29):


`yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4  ÇËÒÈ 
yang berarti “Barangsiapa yang ingin beriman, berimanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah!”. Menurut al-Alusi, ayat ini tidak menunjukkan adanya free will dan free act sebagaimana yang diklaim oleh kaum Mu’tazilah. Hal ini, karena free will dan free act bertentangan dengan dua hal; Pertama, bila untuk berbuat manusia perlu berkehendak, maka untuk membuat kehendak manusia juga perlu berkehendak, begitu seterusnya, sehingga akan terjadi proses teologis yang tidak ada ujung pangkalnya. Kedua, Allah SWT telah berfirman dalam surat al-Insan. ayat 30 (QS. 76:30).
$tBur$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ... ÇÌÉÈ
  Ayat ini jelas menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah.
 Demikianlah menurut al-Alusi (Iyazi, 1415 H:119).

F. Kitab-kitab Tafsir Shufi     
1.         Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, karya Imam At-Tutsuri (w.283 H)
2.         Haqa’iq At-Tafsir, karya Al-Allamah As-Sulami (w.412 H)
3.         Arais Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Qur’an, karya Imam As-Syirazi (w.606 H).













III. KESIMPULAN

1.      Tafsir shufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi yang mereka lebih mementingkan bathinnya lafal daripada lahirnya.
2.      Dalam tafsir shufi terdapat dua corak tafsir, yaitu; tafsir sufi nazhari dan tafsir sufi isy’ari.
3.      Tafsir sufi nazhari adalah tafsir produk sufi teoritis, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir produk sufi praktis.
4.      Tafsir sufi seharusnya steril dari dimensi sektarianisme, karena ia diklaim bersumber dari Tuhan yang adalah sumber dari segala kebenaran.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Zarqani, Muhammad Abd Al-Azim, Manabil Al-Irfan fi Al-‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1986)
Al-Dzahabi, Muhammad Huseyn, al-Tafsir wa Mufassirun, (Kairo:
Mu’assasah at-Tariqh al-‘arabiyah, 1396H/ 1976 M).
Al-Suyuti, Jalaludin, Al-Itqan fil ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1951)
Al-Surbasi, ahmad, Qissah Al-Tafsir, (Beirut: Dar Al-Jayl, 1988)
Al-Taftazani, Abu Al-Wafa Al-Ghanami, sufi dari Zaman ke Zaman
, (Bandung; Penerbit Pustaka, 1997)
Al-Ghazali, Abi Hamid Muhamamd bin Muhammad, Ihya ‘Ulul Al-Din, (Beirut; Dar Ihya Turas Al-‘Arabi)
Faudah, Mahmud Basuni, Tafsir-tafsir Al-quran Perkenalan dengan Metode Tafsir, (Bandung Penerbit Pustaka, 1987)
Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufasirun ayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu’assasah Tiba’iyah Nasyr Wizarah Al-Tsaqafah Al-Islamiyah, 1415 H).
Nasution Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1999)
Sab’I al-Masani, (Beirut: Dar Ihya Turas al-‘Arabi, t.th)
Solihin, M. Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting Tasawuf,
(Bandung: pustaka Setia, 2003)
Thabathaba’I, Alammah M.H., Islam Syiah Asal Usul dan Perkembangan,
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993)





JIKA SOBAT KESULITAN UNTUK MENDAPATKAN FILENYA, SOBAT BISA MENDAPATKANNYA DI SINI............




0 komentar:

Posting Komentar

MEZA
Bagi sobat yang berkunjung di blogger ini tolong tinggalkan komennya y.......
supaya bisa membagun atau menambah supaya blogger ini lebih baik dari sebelumnya.
MAKASIH

adf.ly

http://adf.ly/?id=1499578